Anugerah Allah sungguh amat berlimpah pada manusia yang antara lain berupa kemampuan fisik material, psikis, intelektual, dan spiritual, raga, dan nyawa yang dalam satu waktu dan satu peristiwa secara keseluruhan dapat dimanfaatkan. Namun, manusia tetap manusia, dia memiliki keterbatasan, kekurangan, kendala, dan kelemahan. Manusia yang diciptakan lemah (an-Nisā′/4: 28), dibatasi kekuatan dan kemampuannya, dibatasi usianya, dan dibatasi segala aktivitasnya. Kelemahan tersebut tampak ketika manusia mengarungi perjalanan kehidupan sunnah Allah yang tidak akan hilang dari alam semesta ini. Untuk menutupi kekurangan dan kelemahan ini, manusia membutuhkan ciptaan lain, makhluk lain atau benda lain, sehingga kemaslahatan hidupnya tercapai, baik dalam aspek fisik maupun psikis.
Dalam kehidupan keseharian, contoh yang melekat pada diri manusia adalah memerlukan kebutuhan pokok atau hajat hidup manusia yang sering disebut al-hājah al-asāsiyyah, seperti tersedianya air untuk mengobati rasa haus, makanan untuk menutupi rasa lapar, pakaian untuk menutup badan dari panas atau dingin, bahkan tempat berlindung, seperti rumah. Keperluan utama hājah asāsiyyah, seperti sandang, pangan, dan papan dapat mengurangi kegelisahan dan kegundahan akibat dari kegoncangan dan ketidaktenangan diri secara fisik. Perut bisa kenyang, kemakmuran dalam hidup bisa tercapai, bahkan perang bisa menang, dan segala kesuksesan lain yang bersifat duniawi bisa diujudkan. Namun demikian, terpenuhinya kebutuhan fisik saja belum cukup, maka kebutuhan ruhani yang bersifat psikis berupa ajaran agama yang dapat membangkitkan semangat dan idealisme amat diperlukan.
Manusia, dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, bahkan kehidupan ekonomi dan politik yang sehari-hari ia lewati, memerlukan pihak lain. Kekurangan dan kelemahan memaksa manusia memerlukan bantuan, sandaran, penolong, pelindung yang dalam bahasa sehari-hari disebut wakil. Dalam ajaran Islam, manusia dituntut untuk memiliki sifat tawakal. Hanya saja, pengertian tawakal ini di kalangan masyarakat awam cendrung diartikan sebagai kepasrahan pada keadaan yang terjadi, sehingga banyak yang meninggalkan usaha dan bekerja dengan alasan bertawakal. Akibat salah pengertian ini, tawakal disalahgunakan menjadi kemalasan atau pengangguran, padahal kesempatan terbuka luas jika manusia mau berusaha sekuat tenaga.
Ungkapan tawakal adalah ungkapan agama, ungkapan ruhaniyah yang berkaitan dengan keyakinan seseorang pada Allah dan berkaitan dengan tauhid. Ungkapan ini digunakan ketika seseorang menyerahkan diri kepada Allah, walaupun tidak selamanya yang menunjukkan penyerahan diri pada Allah menggunakan ungkapan tawakal karena Al-Quran juga menggunakan istilah lain, yaitu ungkapan tafwidh yang berarti “mengembalikan”, yang hanya digunakan sekali dalam Al-Qur′an dalam bentuk kata kerja tunggal (ufawwidhu-aku serahkan), yaitu pada Surah Ghāfir/40: 44. Pada ayat itu disebutkan, “Seorang berusaha semampunya untuk menasihati Fir‘aun dan kaumnya, dan setelah selesai melaksanakan tugasnya, barulah dia berkata kepada Fir‟aun, “Kelak kamu akan ingat apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan (ufawwidhu) urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”
Terkadang makna tawakal tidak diungkapkan secara eksplisit dalam Al-Qur′an, namun bila dilihat dari makna implisitnya terkandung makna tawakal. Seperti tercantum pada berbagai surah dan ayat Al-Qur′an, antara lain: Surah ar-Ra‘d/13: 31:
Dalam kehidupan keseharian, contoh yang melekat pada diri manusia adalah memerlukan kebutuhan pokok atau hajat hidup manusia yang sering disebut al-hājah al-asāsiyyah, seperti tersedianya air untuk mengobati rasa haus, makanan untuk menutupi rasa lapar, pakaian untuk menutup badan dari panas atau dingin, bahkan tempat berlindung, seperti rumah. Keperluan utama hājah asāsiyyah, seperti sandang, pangan, dan papan dapat mengurangi kegelisahan dan kegundahan akibat dari kegoncangan dan ketidaktenangan diri secara fisik. Perut bisa kenyang, kemakmuran dalam hidup bisa tercapai, bahkan perang bisa menang, dan segala kesuksesan lain yang bersifat duniawi bisa diujudkan. Namun demikian, terpenuhinya kebutuhan fisik saja belum cukup, maka kebutuhan ruhani yang bersifat psikis berupa ajaran agama yang dapat membangkitkan semangat dan idealisme amat diperlukan.
Manusia, dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, bahkan kehidupan ekonomi dan politik yang sehari-hari ia lewati, memerlukan pihak lain. Kekurangan dan kelemahan memaksa manusia memerlukan bantuan, sandaran, penolong, pelindung yang dalam bahasa sehari-hari disebut wakil. Dalam ajaran Islam, manusia dituntut untuk memiliki sifat tawakal. Hanya saja, pengertian tawakal ini di kalangan masyarakat awam cendrung diartikan sebagai kepasrahan pada keadaan yang terjadi, sehingga banyak yang meninggalkan usaha dan bekerja dengan alasan bertawakal. Akibat salah pengertian ini, tawakal disalahgunakan menjadi kemalasan atau pengangguran, padahal kesempatan terbuka luas jika manusia mau berusaha sekuat tenaga.
Ungkapan tawakal adalah ungkapan agama, ungkapan ruhaniyah yang berkaitan dengan keyakinan seseorang pada Allah dan berkaitan dengan tauhid. Ungkapan ini digunakan ketika seseorang menyerahkan diri kepada Allah, walaupun tidak selamanya yang menunjukkan penyerahan diri pada Allah menggunakan ungkapan tawakal karena Al-Quran juga menggunakan istilah lain, yaitu ungkapan tafwidh yang berarti “mengembalikan”, yang hanya digunakan sekali dalam Al-Qur′an dalam bentuk kata kerja tunggal (ufawwidhu-aku serahkan), yaitu pada Surah Ghāfir/40: 44. Pada ayat itu disebutkan, “Seorang berusaha semampunya untuk menasihati Fir‘aun dan kaumnya, dan setelah selesai melaksanakan tugasnya, barulah dia berkata kepada Fir‟aun, “Kelak kamu akan ingat apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan (ufawwidhu) urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”
Terkadang makna tawakal tidak diungkapkan secara eksplisit dalam Al-Qur′an, namun bila dilihat dari makna implisitnya terkandung makna tawakal. Seperti tercantum pada berbagai surah dan ayat Al-Qur′an, antara lain: Surah ar-Ra‘d/13: 31:

Dengan demikian jelaslah tidak selamanya dalam ayat tercantum makna tawakal secara eksplisit karena banyak makna ini terdapat dalam ungkapan ayat secara implisit, bahkan pada surah pertama sampai tiga surah terakhir dalam Al-Qur′an digambarkan seperti itu. Lafal-lafal basmalah, ta’awwudz, iyya-ka na’budu wa iyya-ka nasta’īn (al-Fātihah/1: 5) dan Allahush-Shamad, dan dua surah terakhirnya al-Falaq dan an-Nās, juga dalam ungkapan la haula walā quwwata illā billāh mengandung makna tawakal. Dari awal sampai akhir ayat-ayat Al-Qur′an menggambarkan ketawakalan kaum muslim pada Allah. Jauh dari itu pernyataan dan doa-doa Rasul shallallāhu ‘alaihi wa sallam banyak pula yang mengandung makna tawakal, baik eksplisit maupun implisit.
Ungkapan-ungkapan wakil dan tawakkal, yang berasal dari bahasa Al-Quran ini, telah digunakan dalam kosa kata Bahasa Indonesia, walapun belum jelas alasan mengapa para ahli bahasa dahulu hanya mengambil dua kata dari akar kata wakila ini, bahkan salah satunya menggunakan ungkapan kata kerja perintah (fi’il amar), yaitu tawakkal, tidak kata benda (mashdar) “tawakkul”. Hal ini tentu berkaitan dengan rasa, karena bahasa adalah rasa. Dalam Al-Qur′an banyak kata yang berasal dari kata dasar wakala dan wakil ini, paling tidak ada sebanyak 81 kata dan tercantum dalam berbagai surah dan ayat.
Sungguh banyak ungkapan tawakal dan yang seakar kata dengannya, seperti ungkapan wakala, wakil, mutawakkil, wakkala, tawakkal, taukīl yang dimaknai sebagai sesuatu yang diwakilkan kepada yang lain, sehingga yang lain menjadi sandarannya. Ungkapan wakil misalnya, digunakan dalam Bahasa Indonesia khususnya, ketika seseorang menyerahkan suatu tugas kepada orang lain yang dipercaya olehnya. Dalam konteks politik di Indonesia dikenal istilah DPR, "Dewan Perwakilan Rakyat" karena seseorang menyerahkan atau mewakilkan kepada pilihannya agar menyampaikan visi dan misinya. Mereka adalah para peserta Pemilu yang menyerahkan urusan politiknya pada orang yang mereka pilih, walapun adakalanya para wakil tidak memenuhi harapan yang mewakilkannya. Dalam bidang bisnis dikenal istilah “wakālah” yang diartikan agen. Seperti wakālatul-anbā′, al-wakālah lissiyāsah, dan lain-lain. Dalam bidang hukum, kata wakālah digunakan untuk mewakilkan problem hukum atau suatu perselisihan ketika tidak bisa diselesaikan antar individu; lalu seseorang menyerahkan persoalan tersebut kepada yang mewakilinya. Pengacara, misalnya adalah wakil untuk menyelesaikan perselisihan. Dalam hadis Nabi banyak diungkapkan tentang wakil atau perwakilan, sehingga memunculkan istilah wakālah. Dalam bidang politik kenegaraan dikenal juga wakil dari jabatan tertentu, seperti Wakil Presiden, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota, dan lain-lain.
1. Makna bahasa dan istilah
Menurut para pakar bahasa, tafsir, dan tasauf, istilah tawakal amat luas cakupannya, baik dilihat dari aspek makna, bahasa dan istilah maupun amaliah, sebagaimana dikemukakan berikut ini:
Syaikh Ibrāhīm Mushthafā menerangkan, akar kata tawakal adalah dari kata wakala, yakilu, waklan wa wukūlan artinya menerima sesuatu, menyerahkan, dan merasa cukup dengan-nya. Dikatakan tawakkalar-rajulu bil-amri berarti menyerahkannya secara penuh (tafwīdh) dan merasa cukup dengannya.1
Ar-Raghib al-Ashfahānī dalam Mufradāt Alfāzhil-Qur′ān menyatakan: 2

at-Taukīl artinya menyandarkan atas selainmu dan menjadikannya pengganti darimu.
Al-Qurthubī mengartikan kata wakīl dan tawakal, sebagaimana terdapat dalam tafsirnya sebagai berikut: 3

Imam al-Ghazālī dalam Ihyā′ ‘Ulūmuddīn, menyatakan, “Pembicaraan tentang tawakal merupakan pembicaraan amat samar dan sulit. Manusia tidak sanggup menyingkap ketertutupan ini karena amat sulit.”4 Namun beliau dalam uraian selanjutnya, masih dalam al-Ihyā′ memaknai tawakal sebagai berikut:5Tawakkul (mashdar) diambil dari kata wakala; dikatakan wakkala amrahu ilā fulānin, yaitu menyerahkan urusan kepadanya dan bertumpu padanya. Dan diberi nama wakil orang yang diwakilkan (sesuatu) atasnya. Dan dikatakan yang diserahinya itu diwakilkan atasnya dan yang diserahi atasnya, sebagaimana dirinya merasa tenteram dan percaya atas orang itu. Dan ia tidak menuduh wākil itu lemah dan kurang. Maka tawakal adalah: Suatu ungkapan yang menggambarkan tertumpunya hati atas wakil saja.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Madārijus-Sālikīn, dengan mengutip pendapat para pendahulunya menyatakan antara lain sebagai berikut: “Menurut Imam Ahmad tawakal adalah amalan hati, bukan ucapan lisan dan bukan perbuatan anggota badan, tidak termasuk bab ilmu dan pengetahuan.” Ada juga yang mengatakan bahwa tawakal adalah rida dengan yang ditakdirkan Allah. Sebagian ulama menyatakan bahwa tawakal adalah bergantung pada Allah dalam semua keadaan. Dzun Nun al-Mishri menyatakan, “Tawakal adalah jiwa tidak mengatur dan merencanakan sama sekali, dan melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Tawakal seseorang menjadi kuat apabila ia telah mengetahui bahwa Allah senantiasa mengetahui dan melihat apa yang sedang dilakukannya.” Masih banyak lagi para ulama memberikan penjelasan tentang makna tawakal, tetapi Ibnu Qayyim mengemukakan, “Mereka sepakat bahwa tawakal tidak meniadakan usaha-usaha untuk melakukan sebab-sebabnya.
Oleh karena itu, tidak sah tawakal kecuali jika disertai dengan melakukan sebab-sebab, jika tidak, maka ia adalah pengangguran dan tawakal yang rusak.”6Selanjutnya, Ibnul-Qayyim mendefinisikan tawakal sebagai berikut: 7

M. Quraish Shihab dalam al-Mishbah menyatakan sebagai berikut: "Kata wakil terambil dari kata wakala-yakilu yang berarti mewakilkan. Dari kata itu terbentuk kata wakil. Apabila seseorang telah mewakilkan pihak lain, maka ia telah menjadikannya sebagai dirinya sendiri dalam persoalan tersebut, sehingga yang diwakilkan (wakil) melaksanakan apa yang dikehendaki oleh yang menyerahkan kepadanya perwakilan.
Dalam beberapa ayat ditegaskan bahwa Allah atas segala sesuatu menjadi wākil (al-An‘ām/6: 102). Dan cukuplah Allah sebagai wākil (an-Nisā′/4: 81). Kata wakil bisa juga diterjemahkan dengan “pelindung”. Namun, harus diingat bahwa Allah yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Mahakuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan segala Maha yang mengandung makna pujian. Manusia, sebaliknya memiliki keterbatasan dalam segala hal. Kalau demikian, makna “perwakilan-Nya” berbeda dengan perwakilan manusia. Memang, wakil diharapkan serta dituntut untuk dapat memenuhi kehendak dan harapan orang yang mewakilkan kepadanya. Namun, karena dalam perwakilan manusia “seringkali” atau paling tidak “boleh jadi” yang mewakilkan lebih tinggi kedudukan dan atau pengetahuannya dari sang wakil, maka ia dapat saja menarik kembali perwakilannya. Ini terjadi bila berdasarkan pengetahuan dan keinginannya, ia merasa tindakan tersebut merugikan. Ini bentuk perwakilan manusia.
Namun, jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil maka hal serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula seseorang telah menyadari keterbatasannya, dan menyadari pula kemahamutlakan Allah. Ini salah satu segi perbedaan antara perwakilan manusia terhadap Tuhan dengan terhadap selain-Nya. Perbedaan yang kedua adalah dalam keterlibatan yang mewakilkan. Jika seseorang mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu maka ia telah menugaskannya melaksanakan hal tersebut. Anda tidak perlu lagi melibatkan diri. Dalam hal menjadikan Allah sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.8
Kata tawakkal yang juga berakar kata sama dengan wākil, bukannya berarti penyerahan secara mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi, seperti ungkapan dalam hadis berikut:

Begitu juga ketika menafsirkan Surah al-Ahzab ayat 3, di mana digunakan kata kerja, “Bertawakallah”, M. Quraish Shihab menulis, ‘‘berserah dirilah kepada Allah, setelah melakukan upaya maksimal, karena ketika itu Dia akan membela dan memeliharamu. Cukuplah Allah sebagai pemelihara dirimu dan semua orang-orang beriman, jangan lagi hatimu bergantung kepada selain-nya.”
Dari paparan makna tawakal di atas, jelaslah bahwa tawakal hanya dimiliki oleh orang yang beriman kuat dan memiliki tauhid yang tinggi, sehingga tidak ada pikiran yang tertanam dalam dirinya, kecuali pikiran tentang Allah dengan segala Kemahakuasaan, dan segala sifat-sifat luhur lainnya. Pantas jika tawakal hanya dimiliki orang khas, bukan kaum awam atau masyarakat kebanyakan yang tingkat tauhid, iman, dan takwanya rendah.
Al-Qur′an banyak mengutarakan tentang tawakal antara lain, firman Allah dalam Surah al-An‘ām/ 6: 89; ar-Ra‘d/13: 30-31:

Surah al-An‘ām ayat 89 membicarakan para Rasul terdahulu yang sudah diberi kitab, hikmah, dan kenabian yang mereka sudah melakukan dakwah kepada kaumnya termasuk di dalamnya Muhammad Rasulullah. Namun dalam kenyata-annya, tidak mudah agar dakwah itu diterima oleh banyak orang; ada yang menerima dan tidak menerima. Ketika Rasul shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kenabian dan membawa Al-Qur′an, di tolak oleh masyarakat Mekah, Allah pun “mewakilkannya” (menyerahkannya) kepada orang-orang yang beriman, yaitu orang Ansar di Medinah waktu itu. Manusia, kaum Ansar di Medinah diserahi tugas agar menerima Al-Qur′an.

Ayat ini makin memperjelas kerja dakwah yang dilakukan oleh Rasul shallallāhu ‘alaihi wa sallam, ketika mendapat penolakan dari kaum kuffār Mekah saat itu. Ungkapan “alaihi tawakkaltu”, dalam ayat di atas menurut Wahbah az-Zuhailī bermakna, aku bertawakal atas-Nya dalam segala urusanku dan Aku menyerahkan dan mempercayakan semua urusanku kepada-Nya.10 Untuk itu, tidak heran bila pada penggalan ayat Surah ar-Ra‘d/13: 31 disebutkan:

Berdasarkan uraian makna tawakal yang dikemukakan ulama bahasa dan tafsir di atas, terdapat beberapa nuansa dalam memaknai tawakal, walaupun hanya dilihat dari aspek terjemahan. Sebagai contoh, perkataan wakīla yang tercantum dalam Al-Qur′an sebanyak 24 kali, maknanya dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Pelindung (Āli ‘Imrān/3: 173, al-Isrā′/17: 68, al-Ahzāb/33: 48, al-Muzammil/73: 9 );
b. Pengurus (al-An‘ām/6: 66);
c. Pemelihara (al-An‘ām/6: 107);
d. Saksi (Yūsuf/12: 66);
e. Bertanggung jawab (az-Zumar/39: 41);
f. Memelihara (az-Zumar/39: 62, al-Furqān/25: 43, al-Ahzāb/ 33: 3);
g. Mengawasi (asy-Syūrā/42: 6);
h. Penolong (al-Isrā′/17: 2);
i. Penjaga (al-Isrā′/17: 54);
j. Pembela (al-Isrā′/17: 86).
Sementara itu, penggunaan kata kerja lebih banyak diartikan menyerahkan, diserahi, dan juga makna “bertawakal”. Adapun isim sifat dengan menggunakan mutawakkilūn atau mutawakkilīn diartikan sebagai orang-orang yang bertawakal atau berserah diri. Dengan demikian, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Islam, Tawakal berarti menyerahkan segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah subhānahū wa ta’ālā serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapatkan manfaat atau menolak madarat.11
Tawakal merupakan pekerjaan hati manusia dan puncak tertinggi keimanan. Sifat ini akan datang dengan sendirinya jika iman seseorang sudah matang. Hamka mengatakan, ‘‘Belum berarti pengakuan iman kalau belum tiba di puncak tawakal.” Maka apabila seorang mukmin sudah bertawakal, berserah diri kepada Allah, terlimpahnya atas dirinya sifat ‘azīz (terhormat, termulia), yang ada pada-Nya. Ia tidak takut lagi menghadang maut. Selain itu terlimpahnya kepadanya pengetahuan Allah. Sehingga ia memperoleh berbagai ilham dari Allah untuk mencapai kemenangan.
2. Penggunaan kosa kata wakala dan derivasinya dalam Al-Qur′an
Ada beberapa ungkapan dalam Al-Qur′an yang diambil dari kata dasar wakala, yaitu: wakīl, tawakkal, tawakkaltu, tawakkalnā, wakkala, wukkila, yatawakkalu, natawakkal, dan mutawakkil, dan mutawwakkilīn:
a. Wakīl disebut 24 kali, yaitu dalam Surah Āli „Imrān/3: 173; al-An‘ām/6: 69, 102, 107; Yūnus/10: 10; Hūd/11: 12;Yūsuf/12: 62; al-Qashash/28: 28; az-Zumar/39: 41 dan 62; asy-Syūrā/42: 6; an-Nisā′/4: 81, 109, 132, dan 171; al-Isrā′/17: 2; 54, 65, 68, 86; al-Furqān/25: 13; al-Ahzāb/33: 3 dan 48, al-Muzammil/73: 9.
b. Wakkala dengan segala bentuknya disebut 13 kali, yaitu dalam Surah al-An’ām/6: 89; as-Sajdah/32: 11; at-Taubah/9: 129, Yūnus/10: 71; Hūd/11: 56, 88; Yūsuf/12: 67; ar-Ra‘d/13: 30; asy-Syūrā/42: 10.
c. Tawakkaltu dengan mutakallim wahdah (pembicara seorang) disebut sebanyak 7 kali, yaitu pada Surah at-Taubah/9: 129; Yūnus/10: 71; Hūd/11: 56 dan 88; Yūsuf/12: 67; ar-Ra’d/13: 30; asy-Syūrā/42: 10.
d. Tawakkalna disebut sebanyak 4 kali, yaitu pada Surah al-A‘rāf/7: 89, Yūnus/10: 85; al-Mumtahanah/60: 4, al-Mulk/68: 29.
e. Natawakkal disebut sebanyak disebut satu kali, yaitu pada Surah Ibrāhīm/14: 12.
f. Yatawakkal ada 12 ayat, yaitu pada Surah Āli ‘Imrān/3: 122, 260; al-Mā′idah/5: 11; al-Anfāl/8: 49; at-Taubah/9: 51; Yūsuf/12: 67; Ibrāhīm/14: 11 dan 12; az-Zumar/39: 48; al-Mujādilah/58: 10; at-Taghābun/64: 13; ath-Thalāq/65: 3.
g. Yatawakkalun (fi’il mudhāri’ ghaib, jamak) sebanyak 5 ayat, yaitu pada Surah al-Anfāl/8: 2; an-Nahl/16: 42 dan 99; al-‘Ankabut/29: 59, asy-Syūrā/42: 36.
h. Tawakkal dan tawakkalū (fi„il amr) disebut sebanyak 10 kali, terdapat pada Surah Āli ‘Imrān/3: 159; an-Nisā′/4: 81; al-Anfāl/8: 61, Hūd/11: 123; al-Furqān/25: 58, asy-Syu‘arā′/26: 217; an-Naml/27: 79; al-Ahzāb/33: 3; al-Mā′idah/5: 23; dan Yūnus/10: 84.
i. Mutawakkilūn dan mutawakkilīn disebut 4 kali, yaitu pada Surah Yūsuf/12: 67; Ibrāhīm/14 12; az-Zumar/39: 38; Āli ‘Imrān/3: 159.
Kosa kata tersebut tercantum pada berbagai surah dan ayat yang terfokus pada pengertian bahwa di atas kemampuan dan kekuatan dalam kehidupan manusia selama ini, ada Zat Yang Maujud yang lebih Perkasa dan wajib menjadi tumpuan dari segala harapan dan tujuan hidup manusia, yaitu Allah. Berbicara tentang tawakal, sebagaimana menjadi pokok bahasan di sini dan konseptualisasinya, berarti membicarakan amalan ruhaniyah dan batiniyah bukan amalan lahiriyah, walaupun indikator lahiriah akan tampak pada orang yang selalu bertawakal. Orang yang bertawakal tidak boleh menghi-langkan sebab-musabbab, kerja keras dan jihad dalam menuju suatu cita-cita dalam hidupnya. Seorang yang beriman, bukan hanya wajib bekerja dengan terprogram dan terencana, tetapi harus berserah diri pada Allah, sehingga dengan tawakal manusia sampai pada puncak kesuksesan orang beriman. Bertawakal adalah beramal dan beramal juga bertawakal, doa dan kerja.
B. Langkah-langkah Tawakal dan Tingkatannya
Dalam menuju suatu tingkatan dan kualitas kehidupan seseorang, baik fisik maupun psikis, intelektual, spiritual, dan moral, pasti ada jenjang dan jalur yang harus ditempuh. Dalam lapangan pendidikan ada pendidikan dasar, menengah dan tinggi sampai tingkat doktoral, sehingga dikenal kata pelajar, mahasiswa, dan lain-lain. Di kalangan para pendidik ada guru, dosen, guru besar, dan lainnya. Sebutan untuk para pendidik di kalangan masyarakat ada Muallim, Ustaz, Syekh, KH (di Indonesia), Tuan Guru, dan istilah-istilah lainnya. Gelar-gelar tersebut didapat setelah melalui jenjang pendidikan tertentu, baik formal maupun non-formal. Demikian pula halnya dalam peningkatan kualitas spiritual, untuk mencapai tingkat tawakal yang sempurna, mesti ditempuh langkah-langkah tertentu, karena tawakal juga memiliki tingkatan-tingkatan.
1. Langkah-langkah tawakal
Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh orang yang bertawakal sesuai dengan tingkatan yang diperlukan oleh mutawakkilīn, sehingga mencapai kesempurnaan, dikemukakan oleh Imam Ibnu Qayyim dalam Madārijus-Sālikīn sebagai berikut:
Dalam menuju suatu tingkatan dan kualitas kehidupan seseorang, baik fisik maupun psikis, intelektual, spiritual, dan moral, pasti ada jenjang dan jalur yang harus ditempuh. Dalam lapangan pendidikan ada pendidikan dasar, menengah dan tinggi sampai tingkat doktoral, sehingga dikenal kata pelajar, mahasiswa, dan lain-lain. Di kalangan para pendidik ada guru, dosen, guru besar, dan lainnya. Sebutan untuk para pendidik di kalangan masyarakat ada Muallim, Ustaz, Syekh, KH (di Indonesia), Tuan Guru, dan istilah-istilah lainnya. Gelar-gelar tersebut didapat setelah melalui jenjang pendidikan tertentu, baik formal maupun non-formal. Demikian pula halnya dalam peningkatan kualitas spiritual, untuk mencapai tingkat tawakal yang sempurna, mesti ditempuh langkah-langkah tertentu, karena tawakal juga memiliki tingkatan-tingkatan.
1. Langkah-langkah tawakal
Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh orang yang bertawakal sesuai dengan tingkatan yang diperlukan oleh mutawakkilīn, sehingga mencapai kesempurnaan, dikemukakan oleh Imam Ibnu Qayyim dalam Madārijus-Sālikīn sebagai berikut:
- Ma’rifah kepada Rabb berikut sifat-sifatnya, seperti Maha-kuasa, Maha Mencukupi, Maha Berdiri Sendiri, segala sesuatu berujung pada ilmu-Nya dan bersumber dari Kehendak dan Kekuasaan-Nya. Ma’rifah adalah tingkat pertama seseorang menginjakkan kakinya di maqām tawakal.
- Itsbāt (menetapkan) adanya sebab dan musabbab, siapa yang menafikan sebab-musabbab pasti tawakalnya rancu. Hal ini merupakan kebalikan dari pandangan bodoh yang menyatakan bahwa menetapkan (mengakui) adanya sebab menjadikan cacatnya tawakal, sedang meniadakan sebab menunjukkan kesempurnaan tawakal.
- Kekokohan hati dalam tauhid, karena tawakal tidak akan lurus sebelum tauhidnya benar, bahkan hakikat tawakal ialah bertauhidnya hati. Oleh karena itu, kalau dalam hati seseorang masih ada ketergantungan-ketergantungan pada selain Allah (syirik), maka tawakalnya akan cacat dan rusak. Sejauhmana kadar kemurnian tauhid seseorang sejauh itu pula keabsahan tawakalnya.
- Bertumpu dan bersandarnya hati pada Allah dan merasa tenang terhadap-Nya. Artinya di dalam hati orang yang bertawakkal tidak ada lagi kegoncangan, kerancuan dan ketidaktenangan terhadap sebab-sebab itu. Yang ada adalah hati merasa tenang terhadap Yang Menyebabkannya.
- Husnuzh-zhan (berprasangka baik) terhadap Allah. Seberapa jauh prasangka baik seseorang terhadap Tuhan dan pengaharapannya kepada-Nya, sejauh itu pula tawakalnya kepada Tuhan. Karena itulah, sebagian orang menafsirkan tawakal dengan prasangka baik pada Allah.
- Istislām (berserahnya hati) pada Allah. Penyerahan diri ini bagaikan penyerahan diri seorang budak pada tuannya dan kepatuhan kepadanya.
- Tafwīdh (menyerahkan) segala urusan kepada Allah, yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah dan memasrahkannya kepada-Nya, sebagai pencarian dan ikhtiar, bukan karena terpaksa.
- Ridhā. Apabila mutawakkil telah menginjakkan kakinya kepada tingkat tujuh ini, maka ia akan pindah ke tingkat rida dan rida merupakan buah tawakal. Orang yang menafsirkan tawakal dengan rida, sebenarnya hanya menafsirkan dengan buah tawakkal yang paling besar dan paling banyak faidahnya. Karena apabila seseorang telah bertawakal dengan sebenar-benarnya, maka akan ia akan rida terhadap apa saja yang ditakdirkan untuknya.12
2. Tingkatan tawakal
Ketika langkah-langkah menuju tawakal dilalui oleh mutawakkil, maka ada yang berhasil dan ada yang tidak. Karena seseorang tidak akan selamanya sukses menempuh suatu ujian, sehingga hasilnya ada beberapa tingkatan. Syaikh al-Harawī menyebutkan tingkatan tawakal dilihat dari aspek manusia yang melewatinya sebagai berikut:
Tingkat pertama, Tawakal disertai dengan tuntutan (perintah) dan melakukan sebab-sebab dengan niat karena takut menyibukkan diri dengan sebab dan dengan niat hendak memberi manfaat pada makhluk dan meninggalkan dakwaan yang bukan-bukan terhadap diri sendiri.
Tingkat kedua, tawakal dengan menggugurkan tuntutan dan memejamkan mata dari sebab, sebagai usaha untuk mem-betulkan tawakal, mengekang kebanggaan jiwa dan berkonsentrasi memelihara kewajiban.
Tingkat ketiga, Tawakal disertai dengan pengetahuan tentang tawakal untuk bersih (lepas) dari penyakit (gangguan) tawakal, yaitu dengan mengetahui bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu adalah kekuasaan keperkasaan.Tidak ada yang bersekutu dengannya dalam hal ini.
C. Tujuan Tawakal
Tawakal bertujuan untuk mengokohkan keimanan pada Allah Ta'ala. Dengan tawakal akan hilang keangkuhan, putus asa pada diri manusia. Mereka tidak akan menyakiti diri, stress, sakit jiwa, dan gila, bahkan bunuh diri karena tidak dapat mencapai cita-cita yang diinginkan. Bagaimana pun sekuat dan sepandainya manusia, ia tetap memiliki kelemahan dan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu. Seorang yang bertawakal akan tetap tabah dengan kondisi yang ada, walau memiliki kekurangan dan keterbatasan karena di sampingnya ada yang Maha Kuat, Maha Pembimbing, Maha Pemelihara, dan segala Maha lainnya.
1. Tawakal sebagai implementasi iman dan islam
Al-Qur′an menyebutkan dalam berbagai ayat tentang ciri-ciri orang yang bertawakal, yaitu iman. Bahkan, antara iman dan tawakal tidak dapat dipisahkan, sebagaimana iman dengan amal salih. Sehingga orang yang sungguh-sungguh beriman harus bertawakal. Keimanan adalah perintah dan tawakal juga adalah perintah Allah. Dalam Al-Qur′an, paling tidak ada 10 ayat yang berkaitan dengan perintah terhadap orang beriman agar bertawakal pada Allah, sementara perintah terhadap orang Islam hanya satu ayat. Diantara ayat yang memerintahkan orang beriman agar bertawakal adalah sebagai berikut:
Ketika langkah-langkah menuju tawakal dilalui oleh mutawakkil, maka ada yang berhasil dan ada yang tidak. Karena seseorang tidak akan selamanya sukses menempuh suatu ujian, sehingga hasilnya ada beberapa tingkatan. Syaikh al-Harawī menyebutkan tingkatan tawakal dilihat dari aspek manusia yang melewatinya sebagai berikut:
Tingkat pertama, Tawakal disertai dengan tuntutan (perintah) dan melakukan sebab-sebab dengan niat karena takut menyibukkan diri dengan sebab dan dengan niat hendak memberi manfaat pada makhluk dan meninggalkan dakwaan yang bukan-bukan terhadap diri sendiri.
Tingkat kedua, tawakal dengan menggugurkan tuntutan dan memejamkan mata dari sebab, sebagai usaha untuk mem-betulkan tawakal, mengekang kebanggaan jiwa dan berkonsentrasi memelihara kewajiban.
Tingkat ketiga, Tawakal disertai dengan pengetahuan tentang tawakal untuk bersih (lepas) dari penyakit (gangguan) tawakal, yaitu dengan mengetahui bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu adalah kekuasaan keperkasaan.Tidak ada yang bersekutu dengannya dalam hal ini.
C. Tujuan Tawakal
Tawakal bertujuan untuk mengokohkan keimanan pada Allah Ta'ala. Dengan tawakal akan hilang keangkuhan, putus asa pada diri manusia. Mereka tidak akan menyakiti diri, stress, sakit jiwa, dan gila, bahkan bunuh diri karena tidak dapat mencapai cita-cita yang diinginkan. Bagaimana pun sekuat dan sepandainya manusia, ia tetap memiliki kelemahan dan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu. Seorang yang bertawakal akan tetap tabah dengan kondisi yang ada, walau memiliki kekurangan dan keterbatasan karena di sampingnya ada yang Maha Kuat, Maha Pembimbing, Maha Pemelihara, dan segala Maha lainnya.
1. Tawakal sebagai implementasi iman dan islam
Al-Qur′an menyebutkan dalam berbagai ayat tentang ciri-ciri orang yang bertawakal, yaitu iman. Bahkan, antara iman dan tawakal tidak dapat dipisahkan, sebagaimana iman dengan amal salih. Sehingga orang yang sungguh-sungguh beriman harus bertawakal. Keimanan adalah perintah dan tawakal juga adalah perintah Allah. Dalam Al-Qur′an, paling tidak ada 10 ayat yang berkaitan dengan perintah terhadap orang beriman agar bertawakal pada Allah, sementara perintah terhadap orang Islam hanya satu ayat. Diantara ayat yang memerintahkan orang beriman agar bertawakal adalah sebagai berikut:

Menurut riwayat jumhur, asbābun-nuzūl ayat ini berkaitan dengan dengan keadaan kaum muslim pada perang Uhud yang terjadi pada bulan Syawal tahun ke-3 Hijriyah. Pada waktu itu dimusyawarahkan, tempat perang yang baik, di kota agar semua orang terlibat, baik perempuan, bahkan anak-anak atau di luar kota agar tidak mengganggu keamanan dan ketenangan kota. Rasul shallallāhu ‘alaihi wa sallam memilih luar kota yaitu Uhud (suatu tempat terpencil di sebelah utara Kota Medinah) walau sebagian sahabat memilih di luar kota. Sebelum terjadinya perang sepertiga pasukan lebih kurang 300 orang yang dipimpin oleh ‘Abdullāh bin Ubay kembali ke Medinah. sedangkan sisanya meneruskan peperangan itu, padahal kaum musyrikin ada 3000 orang. Orang beriman sebanyak 700 tentara tetap taat pada Rasulullah shallallāhu „alaihi wa sallam dan bertawakal kepada Allah.
Sebagai lanjutan dari ayat di atas, pada ayat 160 Surah Āli ‘Imrān, orang beriman kembali dituntut bertawakal.

Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yang memerintahkan umat Islam agar bermusyawarah dalam urusan politik, seperti yang berkaitan dengan perang Uhud dan harus tetap bersatu serta mena‘ati pimpinan. Allah juga memerintah-kan orang mukmin untuk selalu bertawakal kepada-Nya.
Masih banyak ayat-ayat Al-Qur′an yang menjelaskan keharusan umat mukmin bertawakal kepada Allah dalam menghadapi setiap urusan. Di antaranya; Surah al-Mā′idah/5: 11 dan 23, at-Taubah/9: 51, Ibrāhīm/14: 11, al-Mujādalah/58 10, at-Taghābun/64: 13, al-Anfāl/8: 2. Di samping adanya perintah kepada orang mukmin agar bertawakal kepada Allah, dalam Al-Qur′an, Allah juga memerintahkan orang Islam untuk bertawakal kepada-Nya. Firman Allah Surah Yūnus/10: 84- 86:

Ayat ini berkaitan dengan keberadaan kaum Nabi Musa yang tidak merasa takut ketika menghadapi Fir‘aun karena mereka bertawakal pada Allah secara penuh. Nabi Musa meminta kaumnya agar bertawakal jika mereka beriman kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya (muslim). Dan kaumnya menjawab, “Kepada Allah kami bertawakal dan memohon perlindungan dari bahaya dan sasaran fitnah.”
Bila diperhatikan, pada awal ayat disebutkan syarat bertawakal adalah iman, dan pada akhir ayat ditambahkan dengan islam. Menurut Muhammad Quraish Shihab, iman menghasilkan kewajiban bertawakal sedang keislaman mengha-silkan wujud dan terciptanya tawakal. Selanjutnya, beliau mengatakan, Ayat ini bisa saja mengandung dua syarat untuk satu hasil. Islam adalah penyerahan diri kepada Allah, yakni melaksanakan perintah-Nya tanpa sedikitpun menolak, apalagi membangkang. Sedangkan iman adalah kemantapan hati tentang wujud dan keesaan Allah, semua makhluk berada di bawah kekuasaan Allah dan kendali peraturan-Nya. Oleh karena itu orang yang beriman akan menyerahkan segala urusannya kepada Allah.
2. Orang yang tawakal dicintai Allah
Kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga orang yang paling tinggi derajatnya adalah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Orang yang memiliki derajat tawakal akan dicintai Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:

Awal ayat membicarakan kemuliaan akhlak Rasul terhadap para sahabatnya, sehingga mereka tetap bersama beliau dalam situasi apapun. Kemuliaan akhlak rasul terlihat dari kesucian jiwa, kedermawanan, jelas dan tegas dalam pembicaraan, bersikap lemah lembut, pemaaf, dan kerendahan hati yang sempurna. Beliau juga mengutamakan konsultasi dengan yang lain melalui musyawarah yang menjadi prinsip kehidupan, urusan politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Setelah melakukan usaha secara maksimal Rasul senantiasa menyerahkan hasilnya (bertawakal) kepada Allah. Orang yang bertawakal akan dicintai Allah.
Cinta Allah pada umatnya bisa karena berbagai aspek. Seperti tawakal dalam ayat di atas, muhsinīn (berbuat kebaikan); al-Baqarah/2: 190, Āli ‘Imrān/3: 134 dan 148; al-Mā′idah/5: 13, 93, at-tawwābīn (orang-orang yang taubat) dan al-muthathahhirīn (orang-orang yang menyucikan dirinya); al-Baqarah/2: 222; at-Taubah/9 : 108, al-muttaqīn (orang-orang yang takwa); Āli ‘Imrān/3: 78, at-Taubah/9: 4, 7, dan al-muqsithīn (berbuat adil); al-Mā′idah/5: 42, al-Hujurāt/49: 9, al-Mumtahanah/60: 8.
3. Orang yang bertawakal akan mendapat kenikmatan di dunia dan akhirat
Firman Allah:

Ibnu ‘Āsyūr mengemukakan, Setelah pada ayat-ayat yang lalu dinyatakan bahwa kebangkitan setelah kematian merupakan keniscayaan karena merupakan jalan untuk menetapkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ketika itu diketahui secara pasti dan nyata bahwa orang-orang kafir adalah para pembohong. Maka pada ayat ini dikemukakan balasan yang diterima orang-orang yang beriman
Orang-orang yang hijrah setelah mereka dizalimi, akan mendapat tempat yang baik di dunia. Dan diakhirat akan mendapat pahala besar, berupa jannah yang memiliki ruangan yang indah. Mereka itu adalah orang-orang yang sabar dan tawakal kepada Tuhannya.
4. Mampu menjaga diri dari dari gangguan setan

Tampak pada ayat-ayat di atas bahwa setan tidak akan mampu mengganggu orang beriman dan bertawakal, mereka hanya mampu mempengaruhi orang kafir yang menjadikan mereka pemimpin. Wahbah az-Zuhailī ketika menafsirkan ayat ini mengemukakan, Setan memiliki kekuatan, tetapi ia tidak mampu menguasai orang-orang yang membenarkan akan bertemu dengan Allah (orang-orang beriman) dan menyerah-kan segala urusannya kepada-Nya.
5. Mampu bertahan menghadapi musuh
Firman Allah:

Ketahanan menghadapi musuh, bukan hanya ketahanan persenjataan, terutama bila diprediksi akan ada pembangkangan yang dilakukan oleh kaum munafik, karena ketika di depan Rasul dan orang mukmin mereka menyatakan taat, tetapi ketika mereka sudah berkumpul secara khusus, mereka melakukan persokongkolan untuk menghancurkan Islam. Namun diperlukan keimanan yang kuat kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Sekalipun rasul dan orang–orang mukmin tidak mengetahui tipu daya kaum munafik, namun Allah mencatat dan melihat kesepakatan busuk mereka. Oleh karena itu Allah memerintahkan umat Islam untuk selalu bertawakal kepada Allah dan meyakini bahwa Allah adalah sebaik-baik pelindung.
Dalam ayat lain Allah berfirman:

Siapapun yang berdakwah menyampaikan ayat-ayat Allah akan menghadapi resiko fisik dan psikis, sebagaimana diutarakan pada ayat ini. Namun, para mujahid dakwah tidak akan gentar menghadapinya karena yakin berada dijalan Allah. Bahkan, mereka akan terus-menerus sabar dan tabah atas segala gangguan yang datang. Orang yang bertawakal akan selalu berserah diri kepada Allah.
D. Hambatan-hambatan Tawakal
Hambatan-hambatan dalam tawakal ialah kerancuan antara pemahaman yang amat terpuji dengan yang tercela, sehingga menimbulkan salah faham terhadap tawakal yang sebenarnya, seperti tertera di bawah ini:
1. Kerancuan pemahaman tawakal.
Adapun kerancuan pemahaman tawakal adalah sebagai berikut:
a. Kerancuan antara tafwīdh (menyerahkan) dan idhā’ah (mengabaikan atau menyia-nyiakan). Seseorang sering salah mengartikan sikap tawakal. Ia mengiranya sebagai tafwīdh dan tawakal, padahal yang dilakukannya adalah ta’thīl (menyia-nyiakan).
b. Kerancuan antara tawakal dengan istirāhah (tanpa kerja). Membebaskan semua tugas dianggap bertawakal, padahal tawakal harus disertai amal. Orang yang tawakal selalu berusaha secara maksimal untuk mendapat hasil.
c. Kerancuan antara melepaskan sebab (khalā) dengan menyia-nyiakan (ta’thīl), padahal khalā'ul asbāb (tanpa sebab-sebab) merupakan sikap tauhid, sedangkan ta’thīl adalah ilhād dan zindiq. Melepaskan sebab ialah tidak tertumpunya hati kepadanya, tetapi tetap percaya dan yakin kepadanya disertai usaha-usaha melakukannya, sedangkan menyia-nyiakannya ialah secara fisik tidak melakukan usaha dan kegiatan apapun untuk mencapainya.
d. Kerancuan antara tsiqah (percaya) pada Allah dan ghurūr (terpedaya) dan lemah (‘ajz). Perbedaannya ialah orang yang percaya pada Allah pasti melaksanakan apa yang diperintahkanNya, sedangkan orang yang lemah mengabaikan apa yang diperintahkanNya, namun beranggapan bahwa ia telah percaya kepada Allah dengan hasilnya. Padahal tsiqah (percaya) baru sah setelah yang bersangkutan mencurahkan tenaga dan kemampuannya.
e. Kerancuan antara thuma′nīnah (tenang) kepada Allah dan thuma′nīnah kepada sesuatu yang lain. Yang dapat membedakannya hanya orang yang memiliki pandangan batin.
f. Kerancuan antara rida dengan segala sesuatu yang diperbuat Allah terhadap hamba-Nya, baik yang disuka maupun yang tidak disukai dengan azam (tekad).
g. Kerancuan antara pengetahuan tentang tawakal dengan keadaan tawakal. Banyak orang yang mengerti tentang tawakal, hakikat, dan rinciannya kemudian mengira bahwa ia telah bertawakal, padahal sebenarnya ia bukan ahli tawakal. Keadaan tawakal berbeda dengan pengetahuan tentang tawakal.
2. Kelemahan iman
Salah satu perintah Allah kepada orang-orang beriman adalah meninggalkan orang yang terlalu percaya diri dengan mengabaikan Allah sebagai pemegang segala yang dimiliki-Nya. Percaya diri yang tinggi serta mengabaikan keimanan berarti sudah mengikuti setan dan mempertuhankan dirinya sendiri. Allah berfirman:

Ayat ini menerangkan tentang orang yang sulit diajak pada agama yang haq, agama Islam, karena sudah menjadikan hawa nafsunya menjadi anutan dan tidak mau mendengar nasehat yang benar. Setiap manusia yang sudah dihiasi hawa nafsu, berarti telah mena„ati hawa nafsu. Mereka tidak bisa diseru kepada hidayah.
3. Mengikuti orang-orang munafik dan kafir.
Hilangnya tawakal dari diri seseorang dapat disebabkan karena ia mengikuti orang-orang munafik dan kafir. Padahal Allah melarang umat Islam mengikuti dan menjadikan orang kafir dan munafik sebagai pemimpin. Allah berfirman:

Adalah kekeliruan apabila umat Islam bersepakat dengan orang kafir dan munafik karena sampai kapan pun tidak akan sukses. Umat Islam saat ini gagal membangun kemandirian dan peradabannya sendiri karena semenjak penjajahan sampai kemerdekaan, pembangunan, bahkan reformasi selalu mengandalkan orang lain. Alih-alih banyak kerjasama dengan umat Islam dan Negara-negara Islam, malahan umat Islam lebih dekat pada non-muslim yang dalam banyak kasus tidak menguntungkan, malah mungkin tidak berniat baik. Yang sering terjadi umat Islam dipojokkan dengan berbagai macam tuduhan, seperti garis keras, ekstrimis, fundamentalis, bahkan terakhir teroris. Agaknya sudah waktunya memutar haluan atau berbalik arah dengan mencari Third Way yang bersumberkan ajaran Al-Qur′an dan Sunnah Rasulnya dalam segala urusan; politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Negara-negara Islam mestinya merekonstruksi kembali program-program pembangunan ke depan yang intinya memberdayakan masya-rakat muslim, berdiri di atas kaki sendiri dan menampilkan kemampuan yang dimiliki. Membangun kesepahaman adalah lebih baik daripada memprovokasi.
3. Godaan setan
Godaan dan mengikuti langkah-langkah setan adalah aspek lain yang menghambat tawakal kepada Allah. Firman Allah:

Dalam kehidupan keseharian, seseorang seringkali dihantui oleh rasa takut, seperti takut miskin, bahkan fakir. Godaan setan menyuruh manusia berbuat fahsyā′ (kejahatan), seperti kekikiran. ‘Abdullāh Yūsuf ‘Alī dalam Al-Qur′an, Terjamahan dan Tafsirnya, sebagaimana diterjemahkan oleh Ali Audah menyatakan sebagai berikut: Kebaikan dan kejahatan mengantarkan kita ke jalan yang berlawanan dan kepentingan yang berlawanan. Perbedaan itu dapat ditarik garis pemisah dalam sedekah. Kita bermaksud mengerjakan suatu perbuatan baik dan bersedekah, lalu kita diharu biru oleh rasa ragu dan takut miskin. Dengan nafsu jahat itu kita cenderung menjadi orang yang hanya mau mementingkan diri sendiri, kikir, serakah bahkan suka berbelanja dengan berlebih-lebihan untuk dipamerkan dan mengumbar hawa nafsu dengan cara yang tidak pada tempatnya. Sebaliknya Allah menuntun kita melaku-kan segala perbuatan yang baik, sebab di jalan itu terletak pengampunan atas segala dosa kita, serta kebahagiaan dan kepuasan hati yang sebenarnya lebih besar. Tidak ada perbuatan baik atau kemurahan hati yang sampai menghan-curkan orang lain. Allah mengetahui segala niat di hati manusia, ilmu-Nya meliputi segalanya. Segalanya berada dalam kekuasaan-Nya. Bagi orang yang arif sudah jelas baginya jalan mana yang harus ditempuh.
4. Putus asa
Aspek lain yang menghambat tawakal adalah putus asa yang dalam bahasa Al-Qur′an disebut tai′as. Padahal putus asa adalah suatu sikap yang tidak islami dan dilarang oleh Allah, walā tai′asū min rauhilālh. Dalam menghadapi hambatan-hambatan yang ada, seorang muslim harus mampu mencari terobosan-terobosan baru atau langkah-langkah yang dapat mengatasi masalah/hambatan yang dihadapi. Dalam Al-Qur′an banyak ayat yang mengajarkan bagaimana seharusnya sikap orang mukmin dalam menghadapi kesulitan. Di antaranya:
a. Tidak berputus asa. Sebagaimana nasehat Nabi Ya‘qub kepada anak-anaknya sebagai berikut:

b. Bertawakal dan bertaubat kepada Allah. Seperti Sikap Nabi Muhammad dalam menghadapi tantangan kaumnya.

Tugas para Rasul sejak Rasul pertama sampai Rasul terakhir Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam, yaitu membawa tugas-tugas kerasulan, walau banyak umat manusia yang masih tetap kafir kepada Tuhannya. Nabi Muhammad diingatkan agar mengatakan kepada kaumnya bahwa Allah adalah Tuhan yang patut disembah, dan hanya kepada Dia lah manusia bertaubat dan bertawakkal.
Kerja dakwah adalah kerja besar yang tidak mengenal waktu dan tempat, sementara orang yang dihadapi pun tidak mengenal waktu dan tempat juga. Maka kerja keras secara konsisten ada dalam jaminan dan peliharaan Allah.
c. Menyerahkan hukum kepada Allah ketika terdapat perselisihan.
Dalam menghadapi perselisihan dengan kaum kafir, umat Islam diperintahkan untuk menyerahkan hukumnya kepada Allah, bertawakal dan bertaubat kepada-Nya. Sebagaimana diisyarakatkan dalam Surah asy-Syūrā/42: 10:

d. Mempertahan akidah dengan selalu meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah. Firman Allah:

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

E. Hubungan Tawakal dan Perilaku Keseharian
Korelasi tawakal dengan perilaku dan amal keseharian adalah bahwa kesuksesan suatu tindakan memerlukan ikhtiar dan usaha. Ikhtiar adalah sesuatu yang mestinya menyatu dalam suatu sistem kehidupan keberagamaan orang beriman. Maka dipandang tidak sejalan dengan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya apabila seseorang malas dan tidak bekerja dengan alasan bertawakal. Artinya memaknai tawakal berkaitan dengan etos belajar dan etos kerja. Umat Islam harus menjadi umat yang sukses dan mandiri, baik material maupun spiritual. Seseorang yang ingin sukses dalam bidang keilmuan harus belajar dengan baik dan teratur; orang yang ingin memperoleh harta harus berusaha, dan orang yang ingin kenyang harus makan, dan seterusnya. Keberhasilan tidak datang sendiri, tetapi harus diraih. Bahkan, untuk untuk bisa makan dan minum pun harus menggunakan tangan dan mulut.
Uraian di bawah ini menerangkan, bagaimana Al-Qur′an memberikan gambaran tentang bersatunya antara tawakal dan amal, seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad.
1. Kegiatan individual dan sosial
Dalam kegiatan individual dan interaksi sosialnya dengan yang lain, seorang muslim harus selalu bertawakal pada Allah subhānahū wa ta’ālā, sehingga tidak ada rasa angkuh atau sombong dalam dirinya. Kegiatan yang amat sederhana, seperti zikir-zikir yang diucapkan seseorang; bacaan basmalah, hamdalah, tasbīh ketika mendapat rezeki atau kenikmatan, bacaan istirjā′ ketika mendapat musibah, dan ucapan hauqalah, “Lā haula wala quwwata illā billāh,” semuanya merupakan pernyataan tawakal. Amal usaha dan doa yang selalu dilafalkan tersebut merupakan bagian dari ibadah dan tawakal seseorang pada Allah. Surah al-
Fātihah dari ayat satu sampai ayat 7 merupakan hakikat tawakal secara penuh terhadap Allah. Ketika akan tidur, seseorang disunnahkan membaca doa. Seperti, “Bismikallāhumma ahyā wa amūt” (dengan menyebut Nama-Mu ya Allah, aku hidup dan mati). Doa lainnya berbunyi:

Bagi seseorang yang keluar rumah, banyak perkara yang akan ditemui dalam pelbagai urusan. Mungkin ada, yang menyenangkan dan ada pula yang menyusahkan, sebagai bahagian dari kehidupan. Sebagai makhluk yang dianugerahi fikiran, sebelum keluar rumah seorang muslim sebaiknya mempunyai pertimbangan, pemikiran dan rencana-rencana yang baik dan kemudian memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah.
Tawakal diperlukan oleh setiap orang beriman dan berserah diri pada Allah ketika akan melakukan suatu peker-jaan. Setelah dengan penuh kesungguhan, program, dan rencana yang matang, melaksanakan aktivitas secara maksimal, maka seseorang harus berserah diri pada Allah karena Dia pemiliknya. Dalam hadis Nabi disebutkan:

Dalam riwayat lain diterangkan, „Umar bin al-Khaththāb pernah memutuskan pulang ketika memasuki daerah yang penduduknya terjangkit penyakit kusta. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang menentang dari sahabat lain: “Apakah anda akan melarikan diri dari takdir Allah?” Umar menjawab: “Ya, lari dari takdir Tuhan kepada takdir Tuhan yang lain.” ‘Umar kemudian memberikan perbandingan jika mempunyai hewan ternak di mana tersedia dua lahan, yang satu kering dan yang lainnya subur, tentu saja lebih baik memilih bagian yang subur. Perkara ini menunjukkan bahwa ikhtiar menghindari penyakit (tindakan berhati-hati) perlu dilakukan, seraya bertawakal kepada Allah. Pendapat ‘Umar ini diperkuat oleh sabda Nabi yang disampaikan oleh ‘Abdurrahmān bin ‘Auf15

2. Aspek dakwah
Islam adalah ajaran Allah dan shibgah Allah yang paling baik. Tidak ada ajaran agama yang diakui kecuali Islam (Āli ‘Imrān/3: 19) dan tidak ada shibgah yang baik kecuali Islam (al-Baqarah/2: 138). Dakwah adalah bagian penting dalam penyebaran ajaran ini. Pemaksaan atau pindah agama merupakan perbuatan yang dilarang sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur′an dalam Surah al-Kāfirūn/109: 1-6 dan al-Baqarah/2: 256.
Dalam Surah al-Kāfirūn disebutkan keharusan bagi orang mukmin untuk bersikap tegas terhadap orang kafir menyangkut persoalan akidah. Tidak ada toleransi dalam masalah ibadah.

Kemudian pada Surah al-Baqarah/2: 256 dinyatakan sebagai berikut:

Namun demikian, sejak zaman Rasul sampai saat ini, dakwah bukan persoalan gampang. Ajaran Islam tidak begitu mudah dapat diterima, malahan para pembawanya banyak dimusuhi, jangankan orang kafir diharapkan bisa menerima, umat Islam pun ketika diajak berbuat baik dan menerapkan syariat-Nya (dapat dilihat dari hasil perolehan suara partai-partai Islam yang minim dalam Pemilu 9 April 2009) banyak yang menolak dan tidak sudi diajak bersyariat. Oleh karena itu para da‘i, tidak boleh kecewa dan putus asa, para mujahid tidak boleh berhenti. Di sinilah tawakal kepada Zat yang Memiliki segalanya diperlukan. Atas dasar itulah Rasul pun menyerah-kannya segala urusan kepada Allah setelah melakukan dakwah dan perjuangannya, sebagaimana tercantum dalam berbagai surah dalam Al-Quran.

Sangat banyak ayat Al-Qur′an yang senada dengan ayat di atas, dimana umat Islam harus meyakini bahwa Allah adalah pelindung dan kepada-Nya diserahkan segala urusan. Perintah ini terdapat dalam Surah al-An‘ām/6: 102 dan 107, Yūnus/10 108, Hūd/11: 12, 123, al-Furqān/25: 58, asy-Syūrā/42: 217, al-Ahzāb/33: 3
Ayat-ayat tersebut merupakan salah satu bagian penting bagi para da‘i dan Mujahid Da’wah agar dengan penuh kesungguhan tetap melakukan aktivitas dakwah dan jihadnya karena Allah akan selalu membimbingnya. Ketawakalan para mujahid dituntut pada setiap kondisi dan situasi.
3. Aspek sosial kemasyarakatan
Tawakal di manapun dan dalam situasi apapun harus menjadi bingkai prilaku setiap mukmin karena ia adalah bagian dari ibadah. Suatu peristiwa yang amat memilukan, ketika Nabi Ya‘qub kehilangan putra kesayangannya, Yusuf dan menaruh curiga dan kekurangpercayaan kepada anak-anaknya yang lain sesudah peristiwa itu. Namun, beliau tetap menaruh optimisme pada Allah, sehingga putranya yang lain (Bunyamin) diizinkan dibawa oleh saudara-saudaranya, setelah meminta jaminan dari mereka, sebagaimana dalam firman Allah:

Demikian pula hubungan Nabi Musa dengan Nabi Syu‘aib, calon mertuanya tentang maskawin yang harus dibayarkan, padahal Musa tidak memiliki harta, kecuali hanya tenaga dan semangat.

Dalam ayat ini jelas bahwa hubungan Musa dengan calon mertuanya itu, diikat oleh suatu perjanjian yang disepakati secara kuat, walaupun ada kekurangan agar tidak menjadi permusuhan. Kuatnya perjanjian ini karena saksinya adalah Allah, sehingga alangkah jeleknya, baik secara akhlak dan moral bila dilanggar.
4. Aspek ekonomi
Manusia dalam aktivitas hidupnya tidak akan lepas dari jihad dan mencari rezeki, berupa fadhlullāh, kecuali orang yang sakit karena seperti itulah manusia di dunia, Hal ini diilustrasikan Allah dalam Surah al-Muzzammil/73: 20:

Suatu saat Rasul shallallāhu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang sedang duduk di masjid, seperti orang yang kebingungan. Rasul bertanya, “Maukah engkau saya ajarkan suatu doa, yang dengan doa itu bila engkau baca siang dan malam Allah akan menghilangkan kerisauanmu ini?” Maka Rasul mengajarkan doa berikut: Ya Tuhan, Berilah aku perlindu-ngan dari kedukaan hati dan keluh kesah, berilah aku perlindungan dari kelemahan dan kemalasan. Peliharalah aku dari sifat penakut dan bakhil. Peliharalah aku dari lilitan utang dan paksaan orang lain (Riwayat Abū Dāwud)
Dalam hadis lain yang diterima dari ‘Umar bin al-Khaththab, Nabi bersabda:

Dalam Al-Qur′an Surah athThalāq/65: 2-3, Allah mengingatkan kaum muslim sebagai berikut:

Dalam kehidupan apapun bentuknya harus didasarkan karena Allah, seperti hubungan seseorang dengan yang lain termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan suami dan istri. Tidak selamanya hubungan ini berjalan mulus karena dapat saja muncul konflik, bahkan penceraian. Ada beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian pada ayat ini. Pertama, perceraian atau ruju’ (kembali) harus karena Allah. Kedua, iman dan takwa harus tetap menjadi bingkai kehidupan rumah tangga karena akan memerikan solusi terbaik dan jalan rezeki yang tak terduga. Ketiga, tawakal harus menjadi dasar atas tercukupinya segala kebutuhan manusia. Inilah ajaran Islam yang amat indah yang selalu memberikan optimisme hidup dalam situasi apapun.
5. Aspek politik/peperangan
Tawakal dapat membangkitkan pada diri seseorang rasa percaya diri dan syaja’ah (pemberani). Rasululah dan para sahabatnya adalah orang-orang yang memiliki derajat tawakal yang amat tinggi, lebih dari yang dimiliki siapapun dari generasi sesudahnya, apalagi generasi saat ini yang lemah dan tak berdaya. Memang, para sahabat adakalanya khawatir, terutama dalam mengahadapi kepungan musuh, namun dengan segala daya dan usaha serta rasa tawakal kepada Allah, mereka dapat memenangkan peperangan. Hal ini menjadi pelajaran bagi setiap muslim bahwa, tawakal dilakukan setelah segala rencana, strategi, dan ‘azm (tekad kuat) ditetapkan. Dalam Al-Quran disebutkan, bahwa dalam menghadapi perang diperlukan persiapan perang yang matang. Allah berfirman:

Kosa kata I’dād atau persiapan dalam perang yang berupa kekuatan sesuai dengan situasi dan kondisi dan kapan, dan di mana serta dengan siapa perang itu dilakukan. Di zaman modern sekarang ini, persiapan perang dalam arti persenjataan harus meliputi perang urat saraf sekaligus perang ekonomi dan persenjataan lengkap. Segala persenjataan baik tradisional dan konvensional maupun modern, bahkan “”bom nuklir” bila diperlukan harus disiapkan. Namun demikian Islam sebagai agama rahmah harus menggunakan pula persenjataan yang ramah lingkungan dan ramah kehidupan. Maka segala sesuatu yang diperlukan, baik SDM, logistik maupun segala perlengkapan merupakan keniscayaan. Para tentara juga harus dilatih secara spiritual ruhaniyah, tidak boleh ada keangkuhan dalam diri mereka. Seseorang yang sudah menduduki posisi mutawakkilīn, maka ia akan bertawakal setelah memiliki persiapan, strategi, taktik, dan upaya-upaya manusia lainnya dalam menghadapi situasi konflik politik, khususnya saat menghadapi peperangan, sebagaimana pada keterangan-keterngan di bawah ini: al-Māidah/5: 11, 23; Āli ‘Imrān/3: 122, 160, 173, al-Anfāl/8: 49.
Dalam Surah Āli ‘Imrān 159 dan an-Nisā′: 81 ditunjukkan bahwa upaya manusiawi adalah penting yang selanjutnya adalah upaya spiritual, bahkan dalam situasi yang amat memojokkan umat, seperti dalam kekalahan perang atau apapun bentuknya yang bersifat politis, seperti di terangkan berikut:


Inilah hakikat tawakal. Dalam aktivitas kehidupan, tawakal menjadi semangat yang tak akan pernah hilang untuk mencapai kesuksesan hidup yang didasarkan atas spirit Islam. Apabila suatu perjuangan tidak mengalami kesuksesan, maka ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam memahami tawakal atau tawakal tidak dibarengi dangan sebab dan musabbab yang memadai dan manajemen tindakan. Karena itu, dalam peperangan sekalipun, para pejuang harus bertawakal pada Allah, sekalipun persiapan sudah matang. Adalah salah, bila ada orang mengatakan, “Dengan adanya teknologi dewasa ini, manusia tidak perlu lagi berdoa.” Keangkuhan akan menghancurkan segalanya.
F. Hikmah Tawakal
Hikmah tawakal, sebagaimana terdapat dalam Ensiklopedia adalah membuat seseorang penuh percaya diri, memiliki keberanian dalam menghadapi setiap persoalan, memiliki ketenangan jiwa, dekat dengan Allah, dan menjadi kekasih-Nya, dipelihara, ditolong, dilindungi Allah, diberikan rezeki yang cukup dan selalu berbakti dan taat pada Allah. Menurut Syeikh ‘Abdullāh bin Alawī bin Muhammad (1044-1132 H), “hikmah tawakal adalah tidak melakukan perbuatan maksiat selalu menghindarkan diri dari segala yang dilarang, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah. Tawakal menumbuhkan ketegaran, keberanian, ketenangan, kesabaran, keteku-nan, kesungguhan, dan keseriusan.
Jadi, tawakal adalah sumber inspirasi dan relasi rohani secara penuh dan amat dalam, sehingga memberikan semangat yang luar biasa terhadap mutawakkilīn. Orang beriman tidak akan berputus asa dan berkecil hati dalam menghadapi situasi bagimanapun. Inilah keunggulan tawakal, suatu ajaran Islam dan tanda keimanan yang kuat. Keungulan ini terlihat dalam berbagai macam peristiwa kenabian dan peristiwa-peristiwa para salihin, sebagaimana tercantum dalam kisah-kisah dalam Al-Qur′an. Qashashul-anbiyā′ dan auliyā′ullāh, bahkan shālihīn, dan shālihāt menjadi bukti atas perjuangan, dan kesungguhan mereka. Kisah Ya‘qub ketika menyelidiki putranya Nabi Yusuf (Yūsuf/12: 86-87), peristiwa Ummi Musa ketika dengan penuh keyakinan menghayutkan putranya di Sungai Nil berdasarkan ilham dari Allah. Dengan segala keberanian dan rasa tawakalnya, ia berhasil menyelamatkan putranya dari kekejaman Fir‘aun (al-Qashash/28: 7 dan 13). Dalam situasi yang amat kritis, Nabi Allah Ibrahim tetap tawakal kepada Allah ketika akan dilemparkan ke dalam api oleh Namrud, demikian juga ketika Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dikepung musuh, Rasul menganjurkan sahabatnya ketika berada dalam perkara sulit dan besar, mengucapkan,
G. Penutup
Tawakal adalah suatu kerja hati, kerja spiritual, suatu ibadah yang maknanya amat sulit, namun perlu diterapkan dalam kenyataan. Tawakal diperlukan dalam kehidupan ruhaniyah atau spirit keberagamaan karena hanya dengan tawakal lah suatu pribadi terbentuk. Tawakal juga harus dikaitkan dengan hukum sebab dan musababnya, sehingga tawakal tidak lagi diartikan sebagai diam tanpa ada aktivitas kerja.
Tawakal akan mendorong seseorang supaya memiliki rasa optimisme dan keberanian dalam menghadapi segala persoalan dan problem kehidupan. Tawakal adalah bukti kebenaran iman seseorang kepada Allah, sehingga Allah mencintai orang yang bertawakal. Tidak ada keangkuhan, keluhuran, dan kesombongan dalam kehidupan karena Allah lah yang memiliki sifat al-ālī, al-muta’ālī, al-mutakabbir dan segala sifat ke Maha-an lainnya.
Kerja dan doa, adalah suatu ungkapan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat umumnya sejalan dengan etos kerja yang khas yang mestinya dimiliki oleh umat Islam. Maka kalimat paling indah adalah Fa idzā faragta fanshab wa ilā rabbika fargab, hasbiyallāh wa ni’mal wakīl, ni’mal maulā wa ni’mal-nashīir karena semuanya mengandung makna bahwa Allah Maha segalanya. Wallāhu ‘alam bish-shawāb.
Catatan:
- Syeikh Ibrāhīm Mushthafa, dkk. al-Mu„jam al-Wasīth, (Turki: al-Maktabah al-Islāmiyah Istanbul, t.th), h. 1054-1055.
- ar-Rāgib al-Ashfahānī, Mu’jam Mufradāt Alfāzhil-Qur′ān, (Beirut: Dārul- Fikr, t.th), h. 353.
- al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkāmil-Qur′ān, (Beirut: Dārut-Turāts al-‘Arabī, 1985), juz IV, h. 189.
- al-Imam al-Ghazālī, Ihyā′ ‘Ulūmiddīn, (Semarang: Toha Putra, t.th), jilid IV, h. 238.
- al-Ghazālī, Ihyā′ ‘Ulūmiddīn, h. 253.
- Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madārijus-Sālikīn (terjemahan), (Jakarta: Rabbani Press, 1999), jilid II, h. 522-523.
- Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madārijus-Sālikīn (terjemahan), h. 366.
- Disarikan dari M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), jilid XIV, cet. VII, h. 522-523.
- Abū ‘Isā at-Tirmidzī, Sunan at-Tirmidzī (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th), jilid IV, h. 70. Hadis ini menurut Yahya bin Ma‘in adalah munkar, sementara at-Tirmidzī memasukkannya ke dalam kelompok hadis gharīb dari Anas bin Mālik. Hanya saja terdapat riwayat lain yang senada melalui jalur Amr bin ‘Umayyah ad-Dāmirī dari Nabi.
- Wahbah az-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr, (Beirut: Dārul-Fikr, 1999), jilid 8, h. 171.
- Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1954). Jilid. V, h. 97.
- Disarikan dari Ibnu Qayyim, Madārijus-Sālikīn (terjemahan), jilid 2, h. 357-363.
- Lihat juga Surah al-Mumtahanah/60: 4.
- Abū ‘Isā ati-Tirmidzī, Sunan at-Tirmidzī, h. 70.
- al-Bukhārī, Shahīhul-Bukhārī, kitab al-Hail, bab Mā Yukrahu minal-ihtiyak fil-Firār min thā’ūn, no. 6458.
- Ahmad bin hanbal, Musnad Ahmad bin hanbal, (Kairo: Dārul-hadīts, t.th), vol. 1, no. 370.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar