Ajaran tentang kewajiban manusia untuk bersyukur atas nikmat karunia Allah yang telah dilimpahkan, menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Imam al-Ghazālī menegaskan bahwa disebutnya perintah bersyukur secara bergandengan dengan perintah berzikir (mengingat Allah) menunjukkan kepada kedudukan yang penting itu.1 Allah subhānahū wa ta‘ālā berfirman:

Sebagaimana disebutkan dalam ayat lain, mengingat Allah (żikrullāh) merupakan sesuatu yang lebih besar dibanding-kan dengan amalan-amalan lain. Allah berfirman:

Bahkan dalam salah satu doa yang maksur dari Nabi Muhammad, syukur digandengkan pula dengan ibadah, di samping dengan zikir.2 Doa yang dimaksud ialah: 3

Sebagaimana telah dimaklumi, ibadah kepada Allah merupakan tujuan pokok penciptaan jin dan manusia. Dalam hal ini Allah berfirman:

Dengan mengetahui kedudukan syukur yang sangat penting dalam ajaran Islam, maka sangat dibutuhkan pemaha-man yang benar dan memadai tentang hakekat dan arti syukur. Begitu pula langkah-langkah yang harus ditempuh menuju syukur, hambatan-hambatan yang sering harus dihadapi dan hikmah di balik syukur, perlu mendapatkan penjelasan yang cukup.
A. Pengertian Syukur
Kata syukur yang sudah menjadi bagian dari kosakata dalam Bahasa Indonesia, berasal dari Bahasa Arab. Dalam bahasa asalnya, syukur ditulis dengan (شكر) yang merupakan bentuk mashdar. Kata kerja (fi‘il)nya adalah syakara (mādhī), dan yasykuru (mudhāri‘). Di samping itu, ada pula kata syukūr (شكور) yang dua kali disebut dalam Al-Qur'an, yakni dalam Surah al-Furqān/25: 62 dan Surah al-Insān/76: 9.4 Menurut penulis kamus Mukhtārush-shihāh, kata syukūr dimungkinkan sebagai bentuk mashdar, sama dengan kata syukr, di samping dimungkinkan pula sebagai bentuk jamak (plural) dari kata syukr.5Dua ayat yang dimaksud adalah firman Allah:


Sementara itu, di Indonesia dikenal pula kata tasyakkur. Kata ini juga berasal dari Bahasa Arab. Dalam hubungan ini ar-Rāzī menerangkan bahwa kalimat tasyakkara lahū sama dengan kalimat syakara lahū.6Terdapat suatu kata yang oleh para ulama seringkali dijadikan bandingan bagi kata syukur, yakni kata hamd (حمد) . Ibnu Jarīr ath-Thabarī menganggap keduanya sebagai sinonim, dengan alasan bahwa orang Arab sering menggunakan keduanya dalam satu ungkapan:

Al-Qurthubī menolak pendapat ath-Thabarī ini. Menurut al-Qurthubī, pengertian kedua kata itu berbeda. Memuji (hamd) berarti memuji pihak yang dipuji karena sifat-sifatnya tanpa didahului oleh jasa baiknya kepada si pemuji. Hal ini berbeda dengan syukur (syukr) yang berarti memuji pihak yang dipuji lantaran kebaikan yang telah diberikannya kepada si pemuji. Dengan demikian, pengertian hamd lebih luas dan umum dibandingkan dengan arti syukr.
Sementara itu, sebagian ulama berpendapat bahwa justru pengertian syukur yang lebih luas daripada hamd. Hal itu dikarenakan syukur dilakukan dengan lisan, anggota-anggota tubuh yang lain dan hati, sementara memuji (hamd) hanya khusus dilakukan dengan lisan.7Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang persamaan dan perbedaan antara hamd dan syukr di atas, yang sudah pasti di antara keduanya terdapat kaitan yang sangat erat. Ibnu ‘Abbās dalam hubungan ini antara lain berkata:
Alhamdulillāh adalah kalimat ucapan setiap orang yang bersyukur.
Kebenaran pernyataan Ibnu ‘Abbās ini antara lain dapat ditelusuri dari firman-firman Allah berikut ini:
1. Firman Allah ketika memberi perintah kepada Nuh:

2. Firman Allah yang menceritakan tentang ucapan nabi Ibrahim:

3. Firman Allah tentang Nabi Daud dan Sulaiman:

Dan sungguh, Kami telah memberikan ilmu kepada Dawud dan Sulaiman; dan keduanya berkata, “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari banyak hamba-hamba-Nya yang beriman.” (an-Naml/27: 15)
4. Firman Allah yang menceritakan penduduk Surga:
4. Firman Allah yang menceritakan penduduk Surga:

Firman-firman Allah di atas menunjukkan kepada kita bahwa ucapan alhamdulillah sebagai bentuk pujian (hamd) kepada Allah merupakan ungkapan rasa syukur hamba kepada Tuhannya atas segala kebaikan yang telah diberikan oleh-Nya. Dengan kata lain, memuji Allah merupakan cara hamba bersyukur secara lisan kepada Tuhannya.
Dalam merumuskan arti syukur, terdapat berbagai rumusan yang berbeda-beda, namun dapat saling melengkapi, dari yang sederhana sampai kepada yang sangat rinci. Muhammad ar-Rāzī mengartikan syukur sebagai memuji pihak yang telah berbuat baik atas kebaikan yang telah ia berikan.8Rumusan pengertian syukur ar-Rāzī ini tampak sangat sempit yang hanya mencakup arti syukur dengan lisan (ucapan), karena pujian identik dengan kerja lisan. Lebih luas dari rumusan ini adalah rumusan yang dikemukakan oleh al-Fayyūmī yang mengartikan syukur kepada Allah sebagai mengakui nikmat-Nya dan melakukan apa yang wajib dilaku-kan, berupa melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Dengan demikian, kata al-Fayyūmī selanjutnya, syukur memiliki dua bentuk: syukur dengan ucapan dan syukur dengan amalan.9Rumusan yang lebih lengkap dikemukakan oleh ar-Rāghib al-Ashfahānī yang menyatakan bahwa syukur berarti menggambarkan nikmat dan menampakkannya (tashawwur an-ni‘mah wa izhāruhā) yang merupakan lawan dari kufur (kufr) yang berarti melupakan nikmat dan menutupinya (nisyān an-ni‘mah wa satruhā). Syukur, kata ar-Raghīb, ada tiga macam: syukurnya hati (syukrul-qalb) berupa penggambaran nikmat, syukurnya lisan (syukrul-lisān) berupa pujian kepada sang pemberi nikmat dan syukurnya anggota tubuh yang lain (syukr sāiril-jawārih) dengan mengimbangi nikmat itu menurut kadar kepantasannya.10Dalam al-Qur'an kata syukr dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 75 kali. Dalam ayat-ayat itu syukur tidak hanya dipakai dalam rangka perbuatan manusia dalam mensyukuri nikmat, tetapi juga dalam rangka mengungkapkan sikap Allah terhadap apa yang dilakukan hamba-Nya. Dengan demikian, kata syākir (yang bersyukur) dalam bentuk isim fā‘il atau kata syakūr (yang sangat bersyukur) dalam bentuk shīgat mubālagah tidak hanya dilekatkan kepada manusia, melainkan juga kepada Allah. Ada 2 ayat yang menyebut Allah sebagai Syākir dan ada 4 ayat yang menyebut Allah sebagai Syakūr.11 Sudah barang tentu pengertian syukur Allah berbeda dengan pengertian syukur manusia. Seperti dinyatakan oleh Muhammad ‘Abduh, penyebutan Allah sebagai pihak yang bersyukur (asy-syākir) tidak bisa diartikan secara hakiki, melainkan harus diartikan secara majāzī (metaforik). Dalam pengertian bahasa, syukur berarti membalas dan mengimbangi nikmat dengan pujian dan pengakuan. Syukur manusia kepada Allah dalam istilah syara‘ berarti menggunakan nikmat Allah pada hal-hal yang menjadi tujuan diciptakannya nikmat itu oleh Allah (sharf ni‘amihi fīmā khuliqat lahu). Kedua pengertian ini tidak mungkin dikaitkan dengan Allah, karena tidak ada seorang pun yang memberi nikmat atau jasa kepada Allah sehingga layak untuk Dia syukuri dengan pengertian syukur seperti tersebut di atas. Dengan demikian, makna Allah mensyukuri ialah Allah Kuasa untuk memberi balasan pahala kepada orang-orang yang berbuat baik dan Dia tidak akan menyia-nyiakan balasan bagi orang-orang yang beramal. Dengan pengertian seperti inilah, pemberian imbalan kepada orang yang berbuat baik disebut sebagai bentuk syukur.
Muhammad Rasyīd Ridā menambahi keterangan gurunya Muhammad ‘Abduh di atas, dengan menyatakan bahwa Allah telah menjanjikan kepada orang yang bersyukur atas nikmat-Nya untuk diberi tambahan nikmat. Maka penambahan nikmat bagi orang tersebut oleh Allah disebut syukur, mengingat segi kemiripannya.12Kembali kepada pengertian syukur manusia kepada Allah, tampak kepada kita bahwa syukur tidaklah sesederhana yang dibayangkan dan dipraktekkan oleh sebagian orang. Pengertian syukur sangatlah komprehensif, mencakup sikap hati, lisan dan perbuatan. Untuk itu, dapat dipahami apabila Al-Qur'an berulang-ulang menyebut tentang sedikitnya jumlah orang yang bersyukur, antara lain dalam firman-Nya:

Menurut ar-Rāghib, ayat ini mengandung peringatan bahwa memenuhi secara sempurna kewajiban bersyukur kepada Allah sangatlah sulit. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila hanya ada dua hamba Allah yang mendapat pujian lantaran syukur yang telah ditunjukkannya, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Nuh.13 Tentang Nabi Ibrahim, Allah berfirman:

Adapun tentang Nabi Nuh, Allah berfirman:

Sulitnya melaksanakan syukur dalam bentuknya yang sempurna ini menyadarkan kita tentang pentingnya perto-longan Allah untuk itu. Tanpa pertolongan Allah, syukur kita kepada-Nya mungkin hanya bersifat formal dan verbal. Untuk itulah, Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa kepada umatnya untuk meminta pertolongan (i‘ānah) Allah agar dapat berzikir (mengingat) kepada-Nya, mensyukuri nikmat karunia-Nya dan beribadah dengan baik kepada-Nya, seperti telah dikutip di awal tulisan ini. Demikian pula, Al-Qur'an di dua tempat mengajarkan doa yang senada, yakni tentang pentingnya pertolongan Allah untuk dapat bersyukur kepada-Nya. Firman Allah yang dimaksud ialah:

Juga firman Allah tentang doa Nabi Sulaiman:


Bagian doa yang memohon petunjuk dan ilham dari Allah untuk dapat mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan Allah dalam kedua ayat di atas, menunjukkan pentingnya campur tangan Allah bagi terlaksananya syukur dalam bentuknya yang sempurna, karena memang Dia-lah yang Maha Mengetahui bagaimana bentuk syukur yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya. Di samping itu, doa tersebut memberikan isyarat dan pelajaran yang sangat berharga bagi manusia, yakni agar mereka tidak terjebak dalam kepercayaan diri yang berlebihan tentang kemampuan mereka dalam menjalankan tugas-tugas kewajiban, termasuk kewajiban keagamaan. Mereka harus sadar bahwa tanpa pertolongan Allah semua itu tidak mungkin dapat mereka lakukan dengan baik dan benar. Di sinilah letak arti penting kalimat hauqalah yang sangat terkenal:

Dengan menyadari akan keterbatasan diri, diharapkan bahwa manusia akan semakin sadar tentang ketergantungannya kepada Allah dan bahwa begitu besar rahmat kasih sayangnya kepada manusia. Dengan demikian, dorongan untuk bersyukur kepada-Nya akan semakin besar.
Dalam kitabnya Ihyā' ‘Ulūmid-Dīn, al-Ghazālī dengan sangat cermat dan rinci menguraikan hakekat syukur dan langkah-langkah untuk merealisasikannya dalam kehidupan.14 Menurut al-Ghazālī, syukur mencakup ilmu, hal dan amal. Yang dimaksud dengan ilmu ialah pengetahuan tentang nikmat yang dianugerahkan oleh sang pemberi nikmat (al-mun‘im). Hal adalah rasa gembira yang terjadi akibat pemberian nikmat. Sedangkan amal adalah melakukan apa yang menjadi tujuan dan yang disukai oleh sang pemberi nikmat. Amal di sini terkait dengan tiga hal, yakni hati, lisan dan anggota-anggota tubuh.
Adapun kaitannya dengan hati ialah kehendak hati untuk kebaikan dan menyimpannya kepada semua makhluk. Sedang-kan kaitannya dengan lisan adalah menampakkan rasa syukur kepada Allah dengan berbagai pujian yang menunjukan kepada rasa terima kasih itu. Adapun kaitannya dengan anggota-anggota tubuh adalah menggunakan nikmat karunia Allah dalam rangka ketaatan kepada-Nya dan menghindarkan diri dari kemungkinan menggunakannya untuk berbuat durhaka (maksiat) kepada-Nya (isti‘māl ni‘amillāh ta‘ālā fī thā‘atih wat-tawaqqī minal-isti‘ānah bihā ‘alā ma‘shiyatih). Seseorang baru dianggap bersyukur kepada Tuhannya jika ia telah mengguna-kan nikmat-Nya untuk hal-hal yang disenangi-Nya. Dengan demikian, syukur atas nikmat kedua mata yang dianugerahkan Allah berarti menutupi setiap aib yang kita lihat pada seseorang. Syukur atas nikmat kedua telinga berarti menutupi setiap aib yang kita dengar mengenai seseorang. Sebaliknya, apabila seseorang menggunakan nikmat Allah itu untuk hal-hal yang tidak disenangi-Nya, maka berarti ia telah kufur (ingkar) terhadap nikmat itu. Demikian pula jika ia membiarkan nikmat itu dan tidak memfungsikannya. Walaupun hal ini lebih ringan dosanya dibandingkan dengan yang sebelumnya, namun dengan menyia-nyiakan itu, ia dianggap telah kufur terhadap nikmat Allah. Segala apa yang diciptakan Allah di dunia ini adalah dimaksudkan untuk menjadi alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaannya.
Dalam hal ini perlu diketahui bahwa melaksanakan kewajiban syukur dan menjauhi perilaku kufur tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengetahui terlebih dahulu apa yang disenangi Allah dan apa yang dibenci-Nya. Untuk membedakan hal itu ada dua jalan yang bisa ditempuh; pertama, keterangan yang datang dari syara‘ berupa ayat-ayat dan hadis-hadis serta riwayat-riwayat; kedua, penglihatan mata hati (bashīratul-qalb) yang berupa upaya penalaran dengan mengambil pelajaran guna mengetahui hikmah dari setiap sesuatu yang diciptakan Allah. Harus diyakini bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu di alam ini kecuali pasti ada hikmahnya. Di bawah hikmah itu ada tujuan, dan tujuan itulah yang merupakan sesuatu yang disenangi Allah (al-mahbūb). Hikmah itu ada yang tampak dengan jelas (jaliyyah) dan ada pula yang tersembunyi (khafiyyah). Yang tampak dengan jelas antara lain hikmah penciptaan matahari, yakni agar terjadi pemisahan antara siang dan malam. Siang untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup, malam untuk beristirahat. Terang benderangnya sinar di siang hari memudahkan manusia untuk bergerak mengarungi kehidupan. Sebaliknya tertutupnya sinar terang di malam hari mempermudah orang untuk diam dan tenang. Ini baru sebagian dari sebegitu banyak hikmah adanya matahari.
Begitu pula tentang hikmah adanya hujan, yakni untuk menyiapkan bumi agar dapat menumbuhkan berbagai tanaman sebagai bahan makanan bagi manusia dan sebagai ladang gembala bagi binatang-binatang ternak. Al-Qur'an telah menyebut sejumlah hikmah yang tampak dengan jelas di balik
penciptaan sesuatu yang kiranya mampu dijangkau oleh tingkat pemahaman manusia, bukan hikmah yang pelik dan rumit untuk pemahaman mereka. Sebagai contoh, Allah berfirman:

Adapun hikmah di balik keberadaan planet-planet selain bumi dan matahari bersifat tersembunyi, dalam arti tidak semua orang dapat mengetahuinya. Kadar pemahaman yang umum dan mudah bagi manusia ialah bahwa planet-planet itu merupakan hiasan langit yang mata manusia merasa senang dan nikmat memandangnya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:

Pendek kata, semua bagian yang ada di alam semesta ini tidak sepi dari hikmah. Apabila manusia menggunakannya untuk tujuan yang tidak sesuai dengan hikmah penciptaannya dan dengan cara yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka orang tersebut telah kufur terhadap nikmat Allah. Orang yang memukul orang lain dengan tangannya, berarti telah kufur terhadap nikmat, karena tangan diciptakan untuk manusia adalah untuk mempertahankan diri dari hal-hal yang men-celakakannya dan mengambil sesuatu yang bermanfaat, bukan untuk mencelakakan orang lain. Begitu pula orang yang menatap wajah seseorang yang bukan mahram dengan rasa birahi berarti telah kufur terhadap nikmat mata, karena mata diciptakan agar bisa digunakan untuk melihat hal-hal yang bermanfaat bagi agama dan urusan dunia orang itu, di samping untuk menghindari hal-hal yang merugikan.
Contoh menarik yang dikemukakan al-Ghazālī tentang kekufuran manusia terhadap nikmat Allah yang seharusnya mereka syukuri ialah perbuatan orang yang mematahkan ranting pepohonan secara tidak bertanggungjawab, yang tidak didasari oleh tujuan yang benar (min ghair hājah garadh shahīh). Pelaku yang iseng seperti itu—kata al-Ghazālī—telah melakukan kekufuran terhadap nikmat Allah dalam penciptaan pohon dan tangan. Adapun terhadap nikmat tangan, karena Allah menciptakan tangan itu bukan untuk melakukan hal yang sia-sia, melainkan untuk melakukan dan membantu berbagai bentuk ketaatan kepada Allah. Sedangkan kufur terhadap nikmat pepohonan, karena Allah menciptakannya bersama akar-akarnya yang dapat menyerap air untuk makanan yang berguna bagi pertumbuhannya adalah agar pepohonan itu dapat berkembang menuju puncak perkembangan hidupnya. Jadi, bukan untuk dirusak sekehendak hati manusia.15Apabila terhadap orang yang mematahkan ranting sebatang pohon (man kasara ghusnan min syajarah) saja al-Ghazālī secara khusus mencontohkannya sebagai orang yang kufur terhadap nikmat Allah, dapat dibayangkan betapa besarnya kekufuran para pelaku penebangan hutan masa kini di mata al-Ghazālī. Para pelaku penebangan liar (illegal logging) telah melakukan perusakan pohon secara massif, bahkan telah melakukan penggundulan hutan yang sangat membahayakan bagi lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang menghuninya. Berbagai musibah dan bencana yang menimpa berbagai masyarakat dan bangsa, berkait erat dengan perilaku kufur terhadap nikmat pohon dan hutan ini.
Dalam hubungan ini Yūsuf al-Qaradhāwī berkata:

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang memahami hikmah di balik penciptaan Allah terhadap segala apa yang ada, akan mampu melaksanakan tugas bersyukur kepada-Nya.
C. Hambatan untuk Bersyukur
Menurut al-Ghazālī, kebodohan dan kelalaian merupakan penyebab pokok yang menghambat manusia untuk bersyukur. Dengan kebodohan dan kelalaian itu, manusia tidak mampu mengenali nikmat karunia Allah, padahal syukur atas nikmat tidak mungkin terwujud kecuali setelah orang mengenali nikmat itu. Kemudian manakala mereka sudah mengenali suatu nikmat, mereka mengira bahwa mensyukuri nikmat berarti mengucapkan dengan lisan kalimat: Alhamdulillāh dan asy-syukru lillāh. Mereka tidak mengerti bahwa arti syukur ialah menggunakan nikmat karunia Allah dalam rangka menyempurnakan hikmah yang dikehendaki dari nikmat itu, yakni ketaatan kepada Allah. Kalau pengenalan terhadap kedua hal tersebut di atas—yakni arti nikmat dan arti syukur—sudah diperoleh, maka yang dapat menghalangi manusia untuk bersyukur adalah desakan keinginan hawa nafsu dan pengaruh kuat syetan.
Adapun hambatan pertama yakni ketidaktahuan tentang nikmat, sepintas aneh. Hal itu dikarenakan begitu jelas dan banyaknya nikmat karunia Allah yang dianugerahkan kepada manusia, seperti digambarkan dalam firman Allah:

Allah juga berfirman:

Dengan begitu banyaknya nikmat Allah yang bisa disaksikan dan dirasakan manusia dalam kehidupan ini, maka yang dimaksud dengan ketidaktahuan akan nikmat di sini ialah ketidaksadaran manusia terhadap nikmat itu. Salah satu penyebabnya adalah apa yang mereka saksikan bahwa nikmat yang mereka terima itu ternyata berlaku umum untuk semua orang. Karena tidak berlaku khusus untuk mereka, maka mereka tidak sadar bahwa itu merupakan nikmat yang harus mereka syukuri. Baru kemudian jika nikmat yang bersifat umum itu dicabut Allah dari mereka, mereka pun tersadar tentang nikmat itu. Menurut al-Ghazālī, ini merupakan puncak kebodohan (ghāyah al-jahl), karena syukur mereka bergantung kepada dicabutnya nikmat dari mereka untuk kemudian dikembalikan lagi. Banyak manusia yang hanya mau mensyukuri nikmat harta yang memang bersifat khusus untuk setiap individu ukuran besar kecilnya, sementara mereka lupakan semua nikmat Allah yang lain.
Menghadapi hati manusia yang tidak sadar semacam ini, al-Ghazālī menawarkan solusinya, yakni: untuk orang-orang yang tajam mata hatinya (al-qulūb al-bashīrah) direkomendasikan untuk senantiasa melakukan perenungan tentang berbagai macam nikmat Allah yang bersifat umum itu. Dengan perenungan itu, mereka akan sadar bahwa itu benar-benar nikmat yang wajib disyukuri. Adapun untuk orang-orang yang hatinya dungu (al-qulūb al-balīdah) yang memandang sesuatu sebagai nikmat hanya bila sesuatu itu berlaku secara khusus untuk mereka, cara penyadarannya ialah dengan senantiasa memperhatikan keadaan orang yang secara fisik materil berada di bawahnya dan melakukan apa yang biasa dilakukan oleh sebagian ulama sufi, yakni setiap hari mereka mendatangi rumah sakit, kuburan dan lokasi-lokasi tempat para terpidana menjalani eksekusi. Dengan menyaksikan semua itu, diharapkan bahwa seseorang akan sadar bahwa apa yang ia jalani yang ternyata keadaannya lebih baik dan beruntung dibandingkan dengan keadaan orang-orang yang ia saksikan, sungguh merupakan nikmat karunia Allah yang wajib untuk ia syukuri.17Terkait dengan pernyataan al-Ghazālī tentang pentingnya memperhatikan dan memandang kepada orang-orang yang berada di bawah kita, terdapat hadis Nabi yang memang memerintahkannya. Nabi bersabda: 18

Seperti ditulis oleh ‘Abdul-‘Azīz al-Khūlī, hadis ini memberikan tuntunan cara menciptakan sikap qanā‘ah dan rida dalam jiwa dan cara mengenalkan kita kepada nikmat karunia Allah yang telah dilimpahkan kepada kita, agar kita dapat melaksanakan kewajiban untuk bersyukur atasnya. Dengan demikian, Allah akan menambah nikmat itu kepada kita.19Masih terkait dengan pengenalan terhadap nikmat Allah, satu hal yang harus digarisbawahi ialah bahwa setiap nikmat duniawi bisa menjadi cobaan (bala') dalam waktu yang sama. Begitu pula sebaliknya, cobaan yang diberikan Allah kepada seseorang bisa jadi dalam waktu yang sama merupakan nikmat baginya. Dengan demikian, tidak ada cobaan yang mutlak sebagaimana tidak ada pula nikmat yang mutlak. Maka terhadap keadaan seperti ini ada dua tugas rangkap pada manusia, yakni sabar dan syukur. Jika ada orang membantah hal ini dengan mengatakan bahwa sabar dan syukur merupakan dua hal yang kontradiktif, maka bagaimana mungkin dapat bertemu, bantahan itu bisa dijawab dengan menyatakan bahwa suatu hal bisa dianggap menyusahkan dari satu sisi, tetapi dari sisi yang lain ia bisa dianggap menyenangkan. Maka sabar diperlukan untuk menyikapi sisi yang menyusahkan, sedangkan menyikapi sisi yang menyenangkan harus dikembangkan sikap syukur. Sebagai contoh, orang yang miskin dan sakit wajib bersabar atas kemiskinan dan penyakit yang dialaminya. Tetapi di lain pihak ia wajib bersyukur, sebab seandainya ia kaya dan sehat, kemungkinan ia akan melakukan hal-hal yang tidak benar, seperti yang banyak kita saksikan. Allah berfirman:

Orang yang dapat mengerti kaitan antara nikmat dan cobaan semacam ini, dimungkinkan untuk mampu bersyukur atas cobaan yang dihadapi. Sebaliknya orang yang tidak memahami adanya nikmat dalam cobaan, tidak dapat diharapkan untuk bersyukur atas cobaan, karena syukur bergantung kepada pengenalan terhadap nikmat. Orang yang tidak percaya bahwa pahala musibah lebih besar daripada musibah itu sendiri, tidak mungkin diharapkan untuk bersyukur atas musibah yang menimpanya.20
D. Hikmah dibalik Syukur
Perlu dikemukakan di sini bahwa syukur tidak selalu ditujukan kepada Allah, melainkan juga ditujukan kepada sesama manusia. Dalam Bahasa Indonesia, syukur kepada sesama manusia ini disebut terima kasih. Islam memerintahkan umatnya untuk membalas kebaikan orang lain dengan berterima kasih atau bersyukur. Bahkan dinyatakan bahwa keengganan untuk bersyukur kepada manusia berarti keengganan untuk bersyukur kepada Allah. Nabi bersabda: 21
Perlu dikemukakan di sini bahwa syukur tidak selalu ditujukan kepada Allah, melainkan juga ditujukan kepada sesama manusia. Dalam Bahasa Indonesia, syukur kepada sesama manusia ini disebut terima kasih. Islam memerintahkan umatnya untuk membalas kebaikan orang lain dengan berterima kasih atau bersyukur. Bahkan dinyatakan bahwa keengganan untuk bersyukur kepada manusia berarti keengganan untuk bersyukur kepada Allah. Nabi bersabda: 21

Berterima kasih atas kebaikan sesama manusia sangat penting untuk menciptakan kebaikan hidup bersama. Ia dapat membangkitkan semangat dan tekad para pelaku kebajikan yang ikhlas dalam beramal untuk semakin giat. Mereka melihat bahwa amal kebajikan mereka bermanfaat untuk orang lain, sehingga ia berusaha untuk menambahnya. Sebaliknya, mana-kala mereka melihat bahwa kebajikan yang mereka lakukan tersia-sia, mereka pun akan berhenti berbuat. Seperti dikatakan oleh Rasyīd Ridā, keengganan kita untuk berterima kasih kepada sesama manusia atas kebajikan yang telah dilakukannya kepada kita atau kepada orang lain, merupakan bentuk kejahatan kita kepada orang banyak dan kepada diri kita sendiri. Sebab jika pelaku kebajikan tidak memperoleh tanggapan yang baik, bahkan sebaliknya diingkari kebajikannya, maka orang banyak biasanya akan enggan melakukan amal kebajikan. Paling tidak akan melemahkan minat mereka untuk berbuat kebajikan. Maka kitapun merugi karenanya.22
Dalam kaitannya dengan syukur kepada Allah, manfaatnya akan kembali kepada pelakunya, bukan kepada Allah sebagai pemberi nikmat. Kebesaran dan kekuasaan Allah tidak akan bertambah lantaran syukur manusia. Demikian pula sebaliknya, kerugian akibat perilaku kufur tidak merugikan Allah. Kebesaran dan kekuasaan-Nya tidak akan berkurang lantaran ingkarnya manusia terhadap nikmat yang telah Dia berikan. Hal ini sesuai dengan penegasan Al-Qur'an melalui lisan Nabi Sulaiman:

Seperti dikatakan oleh al-Qurthubī, dengan bersyukur seseorang akan memperoleh kesempurnaan, kelestarian dan pertambahan nikmat. Dengan syukur, nikmat yang telah ada akan terjaga, sebagaimana nikmat yang hilang akan diperoleh kembali.23Dalam mengartikan manfaat syukur bagi si pelakunya ini, Mushtafā al-Manshūrī mengaitkan penafsirannya dengan ayat lain dalam Al-Qur'an (Tafsīr Al-Qur'ān bil-Qur'ān).24 Allah berfirman:

Dalam hubungan ini, cukup mengherankan pendapat yang dikemukakan oleh Jawwād Maghniyyah bahwa nikmat yang akan ditambahkan Allah kepada orang yang bersyukur bukanlah nikmat di dunia, melainkan nikmat di akhirat nanti. Alasannya ialah bahwa telah diyakini tentang apa yang dimaksud dengan azab yang pedih akibat kufur nikmat adalah azab di akhirat. Maka balasan dari syukur atas nikmat haruslah seimbang, yakni nikmat di akhirat. Jawwād sendiri mengakui bahwa pendapatnya ini menyalahi pendapat para ahli tafsir atau kebanyakan ahli tafsir.25
Terhadap pernyataan Jawwād bahwa azab untuk orang yang kufur terhadap nikmat telah diyakini berupa azab di akhirat, sulit untuk dipertanggungjawabkan. Di dalam Al-Qur'an banyak ayat-ayat yang menceritakan jatuhnya azab Tuhan di dunia kepada orang-orang yang ingkar terhadap nikmat Allah, antara lain firman Allah:

Begitu pula Al-Qur'an menceritakan azab yang menimpa kaum Saba' di dunia dalam firman Allah berikut:

Dengan memperhatikan ayat-ayat di atas, di samping ayat-ayat lain yang senada, dapat disimpulkan bahwa tidak ada alasan yang cukup untuk membatasi arti memberi tambahan nikmat bagi orang yang bersyukur hanya pada tambahan nikmat di akhirat, sebagaimana pendapat Jawwād. Yang benar ialah bahwa tambahan nikmat itu berlaku umum, di dunia dan di akhirat.
Sebagai penutup dari uraian tentang syukur ini, penulis akan mengaitkan syukur dengan tujuan pokok penciptaan manusia yakni ibadah kepada Allah, sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini. Menurut Rasyīd Ridhā, ibadah kepada Allah merupakan puncak syukur hamba kepada-Nya.26 Pernyataan ini mengingatkan kita kepada ucapan sahabat ‘Alī bin Abī Thalib tentang tiga macam ibadah manusia sesuai dengan motivasinya:

Dan sesungguhnya sekelompok orang beribadah kepada Allah karena motivasi takut, maka ibadah seperti itu adalah ibadahnya para hamba sahaya.
Dan sesungguhnya sekelompok orang beribadah kepada Allah karena motivasi syukur, maka ibadah seperti itu adalah ibadahnya orang-orang merdeka.27
Syekh Muhammad ‘Abduh memberikan komentar bahwa kelompok pertama disebut sebagai para saudagar, karena mereka beribadah dengan meminta imbalan pengganti (‘iwadh); sedangkan kelompok kedua disebut sebagai para budak, disebabkan mereka merendahkan diri karena takut. Berbeda dengan keduanya, kelompok ketiga beribadah karena mengerti akan hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Itulah ciri orang merdeka.28Menurut hemat penulis, kelebihan lain dari motivasi syukur dibandingkan dua motivasi yang lain ialah bahwa motivasi syukur memungkinkan pelaku ibadah untuk beribadah secara lestari berkesinambungan, karena nikmat yang harus disyukuri memang tak pernah habis. Hal ini berbeda dengan motivasi menginginkan sesuatu atau takut akan sesuatu. Manakala keinginan tercapai dan takutpun hilang, bisa jadi pelaku ibadah itu sudah tidak bersemangat lagi dalam ibadahnya.
Hal inilah antara lain yang digambarkan Allah dalam firman-Nya:

Tingginya tingkat ibadah yang dilandasi motif syukur—seperti telah dikemukakan di atas—berkait dengan kelang-sungan dan kesinambungan ibadah itu. Karena ibadah itu dilakukan tanpa pamrih, melainkan semata-mata sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah yang tak henti-hentinya datang silih berganti dalam kehidupan ini, maka ibadah inipun tidak pula mengenal akhir. Ia akan berlanjut terus tanpa mengenal pasang surut. Inilah yang disebut dengan istiqāmah dalam ibadah. Tentang hal ini Rasulullah antara lain bersabda: 29

Ibadah dengan motif syukur ini pulalah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, sehingga walaupun beliau telah mendapatkan jaminan pengampunan (magfirah) dari Allah, namun beliau tetap rajin dan tekun beribadah. Hal ini digambarkan dengan sangat menarik oleh ‘Āisyah dalam hadis berikut: 30

E. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Syukur merupakan ajaran yang sangat penting dalam Islam, sehingga dalam Al-Qur'an dan hadis ia disebut beriringan dengan zikir dan ibadah kepada Allah.
- Syukur dalam pengertiannya yang komprehensif mencakup perbuatan hati, lisan dan anggota-anggota tubuh yang lain.
- Syukur dalam arti menggunakan nikmat Allah untuk hal-hal yang menjadi tujuan diciptakannya nikmat itu (sharfu ni‘amilllāh fī mā khuliqat lah) seringkali diabaikan, karena banyak orang terpaku pada syukur dengan lisan. Untuk itu, diperlukan pertolongan Allah agar orang dapat bersyukur dengan benar.
- Syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugerahkan akan menyebabkan pertambahan nikmat itu di dunia dan pahala di akhirat. Sebaliknya, sikap kufur terhadap nikmat akan menyebabkan azab dan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat.
- Syukur merupakan motif tertinggi dalam ibadah kepada Allah. Ibadah yang dilandasi oleh syukur dapat terjamin kelestarian dan kelangsungannya, karena ia bebas dari pamrih. Ibadah Rasulullah merupakan representasi dari ibadah semacam ini.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
Catatan:
Catatan:
- Abū Hāmid al-Ghazālī, Ihyā' 'Ulūmid-Dīn, (Beirut: Dārul-Fikr, t.t.), juz IV, h. 80.
- Muhammad ‘Alī asy-Syaukānī, Tuhfatudz-Dzākirīn, (Beirut: Dārul-Fikr, t.t.), h. 374.
- Imam Hākim, Mustadrak al-Hākim, Kitab ad-Du‘ā wat-Takbīr wat-Tahlīl wat-Tasbīh wadz-dzikr, no, 1838.
- Muhammad Fuād ‘Abdul-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāzhil-Qur'ān, (Beirut: Dārul-Fikr, 1981), h. 386.
- Muhammad bin Abī Bakr ar-Rāzī, Mukhtārush-Shihāh, (Beirut: Dārul-Fikr, t.t.), h. 344.
- ar-Rāzī, Mukhtārush-Shihāh, h. 344. Bandingkan pula dengan: Ahmad al-Fayyūmī, al-Mishbāh al-Munīr, (Beirut: Dārul-Fikr, t.t.), h. 320.
- Abū ‘Abdullāh al-Qurthubī, al-Jāmi‘ li Ahkāmil-Qur'ān, (Beirut: Dārul-Fikr, t.t.), juz I, h. 131-132. Bandingkan pula dengan: Muhammad ‘Āli ash-Shābūnī, Rawāi‘ul-Bayān Tafsīr Āyātil-Ahkām minal-Qur'ān, (Damaskus: Maktabah al-Ghazāli, 1977), juz I, h. 23.
- ar-Rāzī, Mukhtār, h. 344.
- Ahmad al-Fayyūmī, al-Mishbāh, h. 319-320.
- ar-Rāghib al-Ashfahānī, Mu‘jam Mufradāt Alfāzil-Qur'ān, (Beirut: Dārul-Fikr, t.t.), h. 272.
- Muhammad Fuād ‘Abdul-Bāqī, al-Mu‘jam, h. 386.
- Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, (Beirut: Dārul-Ma‘rifah, t.t.), juz II, h. 46.
- ar-Rāgib al-Ashfahānī, Mu‘jam, h. 272.
- Abū Hāmid al-Ghazālī, Ihyā', juz IV, h. 80-141. Mengingat begitu luasnya kupasan al-Ghazālī tentang masalah syukur, maka dalam beberapa bagian pembahasan, penulis akan menggunakan kitab Mau‘izhah al-Mu'minīn min Ihyā' ‘Ulūmid-Dīn karya Jamāluddīn al-Qāsimī pengarang tafsir yang cukup dikenal. Dalam bukunya tersebut al-Qāsimī telah meringkas 61 halaman uraian al-Ghazālī menjadi hanya sekitar 5 halaman. Lihat: Jamāluddīn al-Qāsimī, Mau‘izhah al-Mu'minīn min Ihyā' ‘Ulūmid-Dīn, (Beirut: Dārul-Fikr, t.t.), h. 348-353.
- Abū Hāmid al-Ghazālī, Ihyā', juz IV, h. 94.
- Yusuf al-Qaradhāwī, Ri‘āyah al-Bī'ah fī Syarī‘atil-Islām, (Kairo: Dārusy-Syurūq, 2001), h. 230. Karya tulis al-Qaradhāwī ini merupakan rujukan yang representatif tentang fiqih lingkungan hidup yang ditulis oleh pakar studi Islam pada masa kini.
- Abū Hāmid al-Gazālī, Ihyā', juz IV, h. 123-127.
- Abū Hāmid al-Gazālī, Ihyā', juz IV, h. 123-127.
- ‘Abdul-‘Azīz al-Khūlī, al-Adab an-Nabāwī, (Beirut: Dārul-Fikr, t.t.), h. 224.
- Jamāluddīn al-Qāsimī, Mau‘izhah, h. 351-352.
- ath-Thabrānī, Mu‘jam al-Kabīr, No. 2501
- Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, juz II, h. 47.
- Abū ‘Abdullāh al-Qurthubī, al-Jāmi‘ li Ahkāmil-Qur'ān, (Beirut: Dārul-Fikr, 1994), juz XIII, h. 192.
- Mushthafā al-Manshūrī, al-Muqtathāf min 'Uyūnit-Tafāsir, (Damaskus: Dārul-Qalam, 1996), jilid IV, h. 109.
- Muhammad Jawwād Maghniyyah, at-Tafsīr al-Kasyīf, (Beirut: Dārul-‘Ilm li al-Malāyin, 1969), jlid IV, h. 426-427.
- Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, juz I, h. 60.
- asy-Syarīf ar-Rādhī, Nahjul-Balāgah, (Kairo: Dār wa Mathābi‘ asy-Sya‘b, t.t.), h. 396.
- asy-Syarīf ar-Rādhī, Nahjul-Balāgah, h. 396.
- al-Bukhārī, shahīh al-Bukhārī, bab al-Qashdu wal Mudāwamah ‘alal ‘amal, no. 6100.
- Ibnu Hibbān, shahīh Ibnu Hibbān, bab Taubat, no. 620.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar